Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2017

Panggilan dari Sekolah

Coba hitung, berapa kali kita sebagai ortu mendapat panggilan dari sekolah?   Bukan undangan lho, tapi panggilan, mau itu diminta hadir di sekolah, atau hanya berupa panggilan telepon dari guru atau kepala sekolah.   Mungkin saya termasuk ranking papan atas kalo urusan dipanggil sekolah.   Wkwkwk.... Waktu si kakak masih kecil, saya jarang mendapat panggilan, jadi saya tenang-tenang saja lah, karena si kakak memang kecilnya anak yang pendiam, malah jadi sasaran bully, jadi tidak pernah saya kena panggil sekolah. Sebaliknya si adik, karena berkebutuhan khusus, ulahnya macam-macam.   Mulai dari playgroup, TK, SD, ada saja panggilan yang mampir di telepon saya.   Beberapa kali bahkan saya diminta datang menghadap Kepsek.   Fuih..... Pernah suatu ketika, saya mendapatkan panggilan telepon dari wali kelas adik, di tengah rapat pimpinan kantor saya yang saat itu membahas target pendapatan kami sebanyak 1 Triliun.   Saya terpaksa pura-pura ke toilet untuk dapat menerima panggila

Pamit

Saya selalu berkata bahwa apabila saya sampai harus pergi karena menjalankan putusan kasus saya, maka saya ingin bisa berpamitan dengan anak-anak saya.   Itu saja. Argumen ini juga yang saya sampaikan ketika Kepsek si kecil menyayangkan kenapa saya menjelaskan masalah kasus saya kepada si kecil.   Saya bilang, saya ga mau anak-anak saya bingung ketika saya menghilang, saya ga ingin ga sempat pamit pada anak-anak saya. Tapi semua argumen saya itu terpatahkan oleh celetukan dari seseorang yang bahkan saya lupa, siapa yang mengucapkan.   Kejadiannya beberapa hari yang lalu, namun karena saat ini saya sedang hectic banget, terlalu banyak bertemu dengan orang, ditambah faktor U, saya pun tak mampu mengingat siapakah gerangan yang mengatakan hal yang sangat membekas di otak saya. Orang itu bilang, halah pake mau pamit, pake siap-siap segala, emang kalo kamu mati besok, sempet pamit?   Sempet siap-siap, anakmu kamu siapin gitu?   Waktu mendengar perkataannya, saya hanya ceng

Nomor Paling Buncit

Saya baru saja mendapatkan hasil-hasil ulangan dan Try Out Adik.   Dengan bangga dia menunjukkan nilai nya yang membuat saya bangga dan mata berkaca-kaca.   Bagaimana tidak, Adik di kelas satu dulu sempat dikatakan tidak akan naik kelas.   Adik juga divonis berkebutuhan khusus, sehingga selama bertahun-tahun saya membawanya terapi untuk berbagai kekhususannya itu. Sejak saya tau bahwa Adik berkebutuhan khusus, saya selalu menyiapkan diri untuk menerima kenyataan kalau Adik akan selalu jadi nomor paling buncit di sekolah.   Awalnya saya sedih, ya gimana ya,   saya hampir bisa dikatakan selalu juara, hihi, si Kakak pun nilainya bagus terus, sehingga saya bisa tidur nyenyak.   Nah, kalau ke sekolah Adik, saya selalu menyiapkan mental untuk mendapatkan wejangan khusus dari para guru, bahkan Kepsek.   Hhhh.... Tetapi hari-hari terakhir ini saya seperti mendapat pelajaran berharga, bahwa jangan pernah underestimate anak kita.   Hasil Try Out Adik cukup baik, jauh di atas perkira

That's My Mom

Kebanggaan terbesar seorang ibu adalah ketika anaknya merasa bangga akan ibunya, no matter what.  Apa pun yang dilakukan oleh ibunya, sang anak dengan bangga mengakui bahwa itu ibunya, that’s my mom. Suatu ketika, di tengah rapat ortu di sekolah si sulung, saya yang selalu duduk di depan banyak bertanya perihal spesifikasi teknis laptop yang dibutuhkan untuk ujian nasional.  Saya juga bantu menjelaskan kepada para ortu yang lain, kenapa satu orang anak tidak bisa berganti laptop setiap ganti mata ujian.  Saya juga yang menghimbau ortu untuk meminjamkan laptopnya ke sekolah, karena itu semua untuk kebaikan anak-anak, untuk memudahkan anak-anak menjalani ujian.  Ketika saya menceritakan hal ini kepada si sulung, dia pun bilang: that’s my mom. Kali lainnya di sekolah si bungsu, saya menolak keras ketika kepala sekolah dan beberapa ortu ingin menaikkan batas kelulusan setinggi mungkin.  Saya ngotot bilang, kasian angkatan berikut-berikutnya, mau berapa nilai ambang batas kelulusan