Pamit
Saya selalu berkata bahwa apabila saya sampai harus pergi karena menjalankan putusan kasus saya, maka saya ingin bisa berpamitan dengan anak-anak saya. Itu saja.
Argumen ini juga yang saya sampaikan ketika Kepsek si kecil
menyayangkan kenapa saya menjelaskan masalah kasus saya kepada si kecil. Saya bilang, saya ga mau anak-anak saya
bingung ketika saya menghilang, saya ga ingin ga sempat pamit pada anak-anak
saya.
Tapi semua argumen saya itu terpatahkan oleh celetukan dari
seseorang yang bahkan saya lupa, siapa yang mengucapkan. Kejadiannya beberapa hari yang lalu, namun
karena saat ini saya sedang hectic banget, terlalu banyak bertemu dengan orang,
ditambah faktor U, saya pun tak mampu mengingat siapakah gerangan yang
mengatakan hal yang sangat membekas di otak saya.
Orang itu bilang, halah pake mau pamit, pake siap-siap
segala, emang kalo kamu mati besok, sempet pamit? Sempet siap-siap, anakmu kamu siapin
gitu?
Waktu mendengar perkataannya, saya hanya cengagas cengeges
saja. Namun perkataan itu menjadi jelas
maknanya bagi saya hari ini. Perkataan
itu ternyata dalem banget, mengusik jiwa dan nurani saya saat ini.
Hari ini saya bertemu dengan beberapa teman lama, yang
kebetulan saya ingin mintai pertolongan dalam rangka persiapan saya menghadapi
the worst case. Salah seorang kemudian
bilang, sudahlah, kamu tidak akan pernah siap, karena kamu kan denial terus,
kamu kan ga menginginkan ini terjadi, jadi kamu tidak akan pernah siap
menghadapinya; yang harus kamu liat sekarang adalah kesiapan anak-anakmu, kalau
mereka sudah siap, ya kamu jalani saja.
Saya pun terkesiap, hati saya tersentak dan jadi lah saya me
recall perkataan seseorang yang saya lupa itu.
Betul, saya masih beruntung diberi kesempatan untuk
siap-siap, menyiapkan anak-anak saya dan pamit sebelum saya pergi. Ini sudah suatu kemewahan, suatu bonus, untuk
saya dan anak-anak saya. Coba kalo saya
dipanggil yang Maha Kuasa sekarang, saat ini,
saya tidak sempat pamit pada siapa pun, bahkan pada anak-anak saya, saya tidak sempat siap-siap, mengatur
kehidupan anak-anak saya tanpa saya,
anak-anak saya tidak siap, tidak sempat mengucapkan selamat jalan dan memeluk
mencium saya. Duh...
Ya, saya sudah dapat bonus, saya bisa menyiapkan kehidupan
anak-anak saya selama saya tidak ada, saya bisa menyiapkan mental anak-anak
saya, saya bisa say good bye pada mereka.
Yang terpenting, mereka tetap bisa bertemu saya, saya tetap bisa memeluk
dan mencium mereka dan saya bisa kembali lagi ke kehidupan mereka. So, why bother?
Kenapa saya harus takut?
Hidup kan sudah diatur....
Maybe, this is the time.....
Komentar
Posting Komentar