Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2015

Ajudan

Mereka dipanggil para ajudan oleh teman-teman di kantor, karena mereka benar-benar inner circle saya, ring nol koma kalau kata teman-teman.   Namun memang kedua orang ini sangat dekat dengan saya.   Tentu saja, karena mereka setiap hari menumpang di mobil saya pada saat pergi dan pulang kantor, karena rumah mereka dekat dengan rumah saya.   Sebenarnya hal ini saling menguntungkan, karena daerah kantor saya merupakan daerah yang masuk dalam area three in one, sehingga saya memang perlu orang yang ikut dalam mobil agar bisa dengan aman melalui jalanan protokoler menuju kantor. Namun ternyata, pertemanan kami terus berlangsung walaupun saya tidak berkantor lagi di sana.   Setiap saya ada masalah, saya dapat meminta salah satu dari mereka untuk membantu saya.   Contohnya, ketika saya harus meninggalkan rumah, kedua orang ini bahu membahu mengatur transportasi dan tempat tinggal untuk saya. Sebaliknya, saya memang sering membelikan barang-barang untuk mereka, juga oleh-oleh apabil

Be positive!

Gambar
Setelah seharian merasa bête karena banyak hal-hal yang menyebalkan, tiba-tiba setelah bangun tidur keesokan harinya, pagi-pagi sekali saya merasa, saya harus selalu positif.   Saya memutuskan untuk tetap positif menanggapi orang-orang yang kemarin telah membuat saya kesal.   Saya bertekad, bahwa saya akan selalu positif, tidak akan terpengaruh pada mood orang-orang yang sedang jelek, tidak mau terganggu aura negatif orang lain.   Ini hidup saya, dan saya harus mengontrolnya, mengontrol suasana hati saya. Dengan tekad bulat seperti itu, saya justru menyapa seorang teman yang tadinya ingin saya hindari selamanya.   Saya juga menghubungi lagi teman yang tahun lalu telah saya coret dalam hati, karena bukan teman sejati.   Namun, hari ini saya berubah pikiran.   Semua orang pasti punya alasan untuk melakukan sesuatu, bahkan untuk membuat sebal saya. Saya pikir, akhir-akhir ini saya memang sangat sensitif, sehingga mudah terpengaruh aura negatif orang lain, mudah tersinggung, muda

Doors

Gambar
When one door of happiness closes, another opens; but often we look so long at the closed door that we do not see the one that has been opened for us – James Van Praagh Betul, kita kadang-kadang terus menerus melihat ke pintu yang telah tertutup itu, jadi tidak menyadari ada pintu lain yang terbuka. Pintu memang sering menjadi ibarat, seperti rejeki, kesempatan, jalan keluar, dan lain-lain.   Namun semua pada dasarnya sama, masalah pintu yang terbuka dan pintu yang tertutup.   Open and closed doors. Nah, kejadian sebaliknya adalah pada sahabat saya ini.   Dia begitu takutnya pada kejadian yang ada, sehingga justru pintu yang terbuka dia tutup rapat-rapat dan dia malah terperangkap di dalamnya.   Padahal, jalan keluarnya, tinggal buka saja pintu yang dia takuti itu. Ketakutan akan kejadian yang pernah menimpanya membuat dia jadi trauma dan selalu terbayangkan bahwa apabila jalan keluar yang dia tempuh adalah yang terbentang di depannya, maka hal yang sama akan menimp

Doing kills worrying

Selembar kertas bertuliskan “Doing kills worrying” tercetak tebal dan diulang sebanyak 3 kali, disodorkan kepada saya oleh mantan dosen saya.   Saya tertegun, beliau sengaja menyiapkan tulisan itu untuk saya… Siang ini kami makan siang bertiga, mantan dosen saya, seorang mantan teman sekantor dan saya.   Beliau rupanya ingin sekali tau bagaimana keadaan saya saat ini.   Awalnya beliau mengontak teman saya dan menanyakan kabar saya.   Saya pun memberanikan diri untuk mengontak beliau.   Walhasil, kami berdua diundang makan siang. Ternyata makan siang ini sangat bermanfaat karena banyak petuah yang kami dapatkan dari mantan dosen.   Tapi yang paling saya sukai adalah kenyataan bahwa masih banyak orang yang mau membantu saya, walaupun saya sudah bukan siapa-siapa lagi, mereka masih peduli.   Bahkan sang dosen merekomendasikan saya untuk tetap kontak dengan salah seorang pejabat di perusahaan besar.   Kata beliau, kontak dia, dia orang baik dan dia banyak pekerjaan yang mungkin bi

Unfinished Business

Saya sering mendengar “unfinished business” dalam hidup saya.   Dulu, seorang teman yang agak cenayang bilang, saya punya unfinished business dengan mantan suami saya, sehingga harus saya selesaikan apabila nantinya saya ingin meninggal dengan tenang.   Setiap saya mengejar, apa maksudnya?   Sang teman hanya bilang, just finish it! Kata-kata itu cukup menghantui saya, sehingga saya sangat penasaran ingin sekali bertemu dengan mantan suami.   Sampai akhirnya seorang sahabat bilang, mungkin hanya anggapanmu semata bahwa itu unfinished business, sementara mantanmu mungkin sudah lupa.   Saya tertegun, make sense!   Sejak itu, saya tidak pernah pusing lagi, tidak pernah berusaha untuk bertemu mantan suami lagi. Saat saya mengalami kasus yang berat, seorang cenayang lainnya bilang, bahwa leluhur saya punya unfinished business di dunia ini, sehingga saya sebagai keturunannya, terpilih untuk menyelesaikannya.   Saya protes keras, kenapa sang leluhur tidak menyelesaikannya, sehingga