Unfinished Business
Saya sering mendengar “unfinished business” dalam hidup saya. Dulu, seorang teman yang agak cenayang bilang, saya punya unfinished business dengan mantan suami saya, sehingga harus saya selesaikan apabila nantinya saya ingin meninggal dengan tenang. Setiap saya mengejar, apa maksudnya? Sang teman hanya bilang, just finish it!
Kata-kata itu cukup menghantui saya, sehingga saya sangat
penasaran ingin sekali bertemu dengan mantan suami. Sampai akhirnya seorang sahabat bilang,
mungkin hanya anggapanmu semata bahwa itu unfinished business, sementara
mantanmu mungkin sudah lupa. Saya
tertegun, make sense! Sejak itu, saya
tidak pernah pusing lagi, tidak pernah berusaha untuk bertemu mantan suami
lagi.
Saat saya mengalami kasus yang berat, seorang cenayang
lainnya bilang, bahwa leluhur saya punya unfinished business di dunia ini,
sehingga saya sebagai keturunannya, terpilih untuk menyelesaikannya. Saya protes keras, kenapa sang leluhur tidak
menyelesaikannya, sehingga saya yang harus menyelesaikannya? Tidak adil, protes
saya. Tapi sang teman malah lebih
panjang lagi nasehat dan petuahnya.
Hehe….
Hmmm, unfinished business, artinya urusan yang belum
selesai. Saya pikir-pikir, memang banyak
urusan saya yang belum selesai, kalau sudah selesai, harusnya kan tugas saya di
dunia ini juga selesai. Baiklah, saya
jadi berpegang pada sahabat saya yang mengatakan, mungkin itu hanya anggapan
saya saja. Betul, saya jadi ingat petuah
dosen saya: mind should be over matter; what you don’t mind, it doesn’t matter. Ya, ini hanya masalah pikiran, masalah
persepsi. Yang lebih penting lagi, hidup
sudah diatur, jadi unfinished business memang ada karena harus ada dalam
kehidupan saya. Tinggal bagaimana saya
menganggapnya sudah selesai atau belum.
Saat ini, saya sedang merasa amat sangat putus asa melihat
unfinished business dari kasus saya. Di
satu sisi, saya ingin sekali ini cepat selesai, namun di sisi lain, ada
kekhawatiran apabila selesai , namun ternyata tidak “happy ending”, apakah saya
siap?
Ternyata, walaupun saya selalu percaya, hidup sudah diatur,
ternyata tidak mudah untuk menerapkannya.
Ketika hal buruk terjadi, saya tetap menangisinya, tetap sedih, marah,
atau kecewa. Sebagaimana hari ini,
begitu mendengar berita buruk yang saya sebenarnya sudah diberi tahu akan
kemungkinan terjadi, saya tetap menangisinya.
Sebagai manusia, saya tetap mengharapkan hal buruk ini tidak terjadi. Namun, apa boleh buat, ini memang tahapan
dalam menyelesaikan unfinished business saya saat ini. Saya cuma berharap, ketika kasus ini selesai,
apa pun yang terjadi, saya bisa menerimanya.
Atau, apakah lebih baik ini tetap menjadi unfinished business? Saya bingung.
Tuhan lebih tahu yang terbaik.
Komentar
Posting Komentar