Adik dan Ketegarannya


“Bunda, tidak usah takut. Tempat itu tidak menyeramkan,” kata Adik suatu hari.   Saya tercekat. Kok bisa-bisanya dia bicara seperti itu.  “Emang kamu sudah lihat tempat seperti itu?”
“Sudah dong. Kan ada di film-film.” Hehehe.

Ketika ada wacana dari APH untuk mengundurkan lagi waktu pelaksanaan ke dua bulan berikutnya,  Adik juga yang protes keras. “Jangan mundur lagi dong Bunda. Aku sekarang kan sudah siap. Nanti kalau mundur lagi, aku jadi enggak siap.”

Wah, saya pun kagum atas ketegaran Adik.

Semakin dekat menuju waktu pelaksanaan, Adik terlihat semakin sering uring-uringan.  Ia sering marah-marah tanpa penyebab yang jelas dan lebih sensitif dibandingkan biasanya.

Adik pun bilang, “Hidup kita kaya sinetron ya Bunda.”  Ckckck.

Saya berupaya mengajak Adik untuk bersyukur atas apa yang telah dialami dan diterima. Saya ingatkan kondisi temannya yang lebih sulit.  “Iya ya, hidup dia lebih sinetron. Hahaha.”

Beberapa hari sebelum hari H, Adik terlihat makin murung tapi sudah tidak uring-uringan lagi.  Namun Adik selalu menghitung hari sehingga membuat hati saya jadi pedih.

Pada malam terakhir, Adik bilang bahwa ia tak mau masuk sekolah.  Mengingat Adik adalah anak berkebutuhan khusus, saya mengizinkan karena khawatir ia tantrum di sekolah. Saya tak mau semua usaha untuk “menormalkan” Adik  yang sudah berbuah sangat bagus ini jadi sia-sia.  Walaupun saat ini Adik sudah jauh lebih sabar, saya takut emosinya akan meluap-luap dalam keadaan stres seperti saat ini.   Jadi lebih baik Adik di rumah dengan tenang karena ditemani keluarganya.

Pada hari H, ketika keluarga berdatangan, Adik terlihat senang. Apalagi ada keluarga yang belum pernah bertandang ke rumah baru kami sehingga Adik sibuk mengajaknya berkeliling rumah.

Ketika saya akan berangkat, Adik minta kami berselfie-ria. Kami berpelukan bersama. Adik juga mengajak keluarga lain untuk berpelukan.   Ia juga melambaikan tangan saat mobil yang membawa saya semakin menjauh dari rumah.


Dalam perjalanan, saya memeriksa kondisi Adik melalui Ibu. Kata Ibu, Adik tidak menangis.  Saat saya menelepon dia, suaranya juga terdengar biasa saja.

Tak lama kemudian, kakak saya mengirim kabar.  Katanya, Adik ingin ke mal. Ia bingung bagaimana harus memenuhi keinginan itu  karena ia harus bekerja. Saya jadi tertawa.  “Dasar anak mal,” kata kakak saya lalu tertawa. Saya pun menghubungi suami dan mengingatkan ia untuk mengajak Adik ke mal.

Saya pun tenang mendengar semua cerita tentang Adik dan percaya ia akan tegar menjalani hari ini dan selanjutnya.

Saya pun mengirim pesan terakhir sebelum menjalani program.

“I love you to the moon and back.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gembolan

Frankly Speaking

On your mark, get set...