From the company's newsletter: Ibu Bekerja
Dalam rangka menyambut hari Kartini, ada baiknya kita mencermati fenomena saat ini di dunia kerja, dimana jumlah tenaga kerja wanita semakin meningkat. Apabila kita cermati, di Indonesia makin banyak wanita berkiprah, baik sebagai Menteri, sebut saja Menkeu, Mendag, juga di level Dirjen, seperti Dirjen Migas, Dirjen Anggaran, maupun di perusahaan, seperti Pertamina. Tentunya hal ini tidak begitu saja terjadi, apalagi bila kita bandingkan dengan zaman Kartini dulu, di mana untuk bersekolah saja, wanita sangat sulit untuk mendapatkan izin. Saat ini, wanita lebih punya kesempatan untuk berkarya, sehingga sebagai perempuan bekerja, bahkan ibu bekerja, perlu memanfaatkan peluang ini.
Tulisan ini tidak dimaksud untuk membanding-bandingkan jender, namun lebih ingin menggugah para pegawai wanita di perusahaan ini yang jumlahnya sudah mencapai 30% dari total pegawai, dimana 50% di antaranya sudah berkeluarga dan mempunyai anak, sehingga bisa disebut sebagai ibu bekerja. Setiap orang punya alasan masing-masing untuk bekerja, begitu pula para ibu ini, yang pastinya akan berbeda satu sama lainnya. Namun yang harus digarisbawahi adalah keputusan untuk bekerja ini yang harus ditunjukkan dengan komitmen yang kuat, apapun latar belakang alasannya. Artinya, apabila para ibu sudah memutuskan untuk bekerja, maka kita harus menunjukkan kepada perusahaan, termasuk kepada para pegawai lelaki, bahwa kita mempunyai komitmen yang sama dengan para pegawai lelaki. Beberapa tahun yang lalu, sekelompok ibu bekerja disini melakukan pendekatan ke beberapa pihak agar disediakan Tempat Penitipan Anak di kantor, mengingat saat itu banyak ibu bekerja yang mempunyai anak yang masih bayi. Walaupun permintaan itu ditolak, tidak membuat para ibu bekerja itu jadi patah semangat, masih banyak cara untuk tetap dapat memberikan ASI bagi bayinya. Artinya, jangan hanya karena kita tidak mendapatkan kemudahan, kemudian membuat kita menjadi tidak berprestasi. Jadi, jangan mencari-cari alasan “kewanitaan” kita untuk mendapatkan kelonggaran atau kemudahan dibandingkan dengan pegawai lelaki. Contohnya, sebagai sesama ibu bekerja, sungguh tidak enak melihat barisan tas wanita di depan mesin absensi ketika jam menunjukkan pukul 16.29, 1 menit sebelum jam pulang kantor!
Namun, tulisan ini tidak untuk menghakimi siapapun, tulisan ini akan membahas sifat-sifat wanita yang dapat kita manfaatkan sebagai kelebihan kita ketika kita harus berkecimpung di dunia kerja. Dalam sebuah buku berjudul The Art of War for Women yang ditulis oleh Chin-Ning Chu, Chin menuangkan strategi berperang Sun Tzu sebagai senjata para perempuan. Sebagai informasi, Sun Tzu dikenal sebagaai maha guru seni berperang. Sun Tzu yang misterius ini dilahirkan di kota Tungan, Semenanjung Shantung, pada tahun 535 SM. Sun Tzu menuangkan semua ilmunya tentang cara berperang yang disebut Pin Fa atau seni berperang yang kemudian diterapkan pula untuk ’berperang’ di dunia bisnis dan politik.
Dalam bukunya, Chin menerapkan beberapa strategi Sun Tzu, yaitu Tao (moralitas dan motivasi), Tien (waktu), Di (sumber daya), Jiang (kepemimpinan) dan Fa (metode). Kelimanya secara efektif dibalut dalam sebuah taktik pengalihan. Sun Tzu mengajarkan agar ’tampak lemah justru pada saat kuat’. Dengan menampilkan sosok diri lemah, perempuan dapat memetik kemenangan dari kelengahan pria yang merasa kuat dan dominan. Sun Tzu selalu berkata bahwa perang tidak selalu berkaitan dengan perkelahian, namun lebih tentang menetapkan cara efisien meraih kemenangan dengan sedikit mungkin terlibat konflik dan mengakibatkan timbulnya korban. Salah satu alasan mengapa seni perang Sun Tzu cocok bagi kaum perempuan adalah bakat alamiah perempuan yang merupakan anugrah, yaitu pemecah masalah dan negosiator alamiah. Bakat perempuan ini bisa membuat kondisi yang sebetulnya bisa menghasilkan menang dan kalah dapat diubah menjadi situasi win-win.
Lain halnya dengan yang disampaikan oleh Anthony Dio Martin dalam artikelnya yang berjudul "Wanita dan Kesuksesan” di harian Bisnis Indonesia Minggu, 27 April 2008. Martin menilai wanita banyak diisi oleh dimensi ying, seperti kelembutan, kepedulian, hati, perasaan dan fleksibilitas, sementara laki-laki lebih diisi oleh dimensi yang, seperti kekuatan, rasio, otot, keras dan macho. Tentunya, agar seimbang, kedua dimensi itu harus ada di dalam dunia kerja.
Namun, seringkali wanita masih mempunyai kebiasaan ataupun pola pikir yang masih menghambat dirinya dalam mengaktualisasikan kemampuannya. Hal ini tentunya tidak lepas dari adat istiadat dan budaya kita yang mayoritas menganut sistim patrialistik. Ada 4 pola pikir yang merupakan penghambat wanita, yaitu:
Limiting belief (keyakinan keliru)
Tanpa disadarinya, banyak wanita menganggap bahwa peluang sukses hanya dimiliki oleh kaum lelaki, laki-laki takut dengan wanita sukses, wanita sukses sulit dapat jodoh, wanita yang karirnya sukses keluarganya pasti kacau, wanita tempatnya di rumah atau wanita yang sukses dan berhasil tampak tidak feminin dan mengerikan. Anggapan-anggapan inilah yang seringkali membuat para pegawai wanita takut untuk berprestasi atau berambisi untuk mendapatkan posisi yang lebih baik. Memang kadangkala agak sulit untuk mengabaikan ”nilai-nilai” yang ada di masyarakat, terutama mengenai peran wanita di rumah tangga. Seorang rekan kerja laki-laki menyatakan simpatinya pada istrinya yang tidak bekerja dan menjadi full mom. Katanya, istri saya tidak pernah cuti bertahun-tahun. Coba bayangkan ibu bekerja, mereka mempunyai double job, dibandingkan dengan ibu rumah tangga yang single job, artinya begitu ibu bekerja cuti dari kantor, mereka tetap harus bekerja di rumah! Namun, itu tidak berarti bahwa ibu bekerja tidak dapat menyiasatinya. Banyak cara untuk menyiasatinya, terutama dengan kemajuan teknologi. Contohnya, bawa pulang saja pekerjaan kita dan kerjakan di rumah bersama-sama dengan anak-anak yang juga mengerjakan PR. Siapa bilang pekerjaan tidak boleh dibawa ke rumah, yang tidak boleh adalah stress atau kemarahan di pekerjaan yang dilampiaskan kepada anak-anak di rumah. Ada sisi positif dalam mengerjakan pekerjaan di rumah, yaitu selain kita dapat tetap melihat perkembangan anak-anak dan berinteraksi dengan mereka, anak-anakpun menyadari bahwa semua orang, bahkan ibunya punya PR, jadi lebih mudah bagi kita untuk menyuruh anak-anak mengerjakan PR karena kita memberikan contoh padanya. Kiat lainnya, apabila dinas ke luar kota, sudah banyak saluran komunikasi yang memfasilitasi video conference, seperti teknologi 3G, maupun webcam, internet, dll. Kiat lainnya, ubahlah persepsi kita, dari ibu rumah tangga, menjadi manajer rumah tangga, artinya, kita harus me-manage orang untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga kita. Selain tugas rumah tangga terlaksana dengan baik, ini merupakan latihan bagi kita untuk dapat me-manage dan memimpin orang apabila nantinya kita ditunjuk jadi pimpinan di kantor.
Belas kasihan
Peluang dan kesempatan bagi wanita timbul karena tuntutan atau belas kasihan, bukan karena kenyataan potensi yang sesungguhnya. Karena itu muncullah istilah ’jatah’ kursi untuk perempuan, sebagaimana yang marak diberitakan saat ini. Hal semacam ini dapat melemahkan persepsi masyarakat soal kemampuan wanita. Padahal banyak contoh yang menunjukkan betapa seorang wanita memperoleh kursi atau posisinya karena kemampuannya dan bakat alaminya sebagaimana yang dikemukakan Chin dalam bukunya, yaitu sebagai pemecah masalah dan negosiator alamiah yang seringkali menemukan langkah jitu untuk mencapai win-win solution tanpa jatuh korban. Contoh yang baik adalah Margareth Tatcher dan Condoleezza Rice yang tidak mendapatkan kursinya karena belas kasihan, namun karena kemampuan dan bakat alaminya sebagai wanita.
Kurangnya harga diri
Prinsip yang umum adalah ketika seseorang tidak bisa menghargai dirinya sendiri maka sulit pula untuk mengharapkan orang lain untuk juga bisa menghargai dirinya. Artinya, seorang wanita harus menghargai dirinya sendiri, demi mendapatkan penghargaan dari orang lain. Seorang wanita seringkali tidak dihargai dan tidak mendapatkan respek karena mereka pun tidak memberikan kesempatan untuk menghargai dan memberikan respek pada dirinya sendiri. Contoh yang baik adalah Oprah Winfrey yang masa kecilnya sangat buruk, namun dengan menghargai dirinya dan tidak membiarkan dirinya ditentukan oleh masa lalunya yang buruk, membuat orang pun respek padanya.
Lingkungan yang tidak mendukung
Lingkungan wanita seringkali dipenuhi oleh orang-orang yang justru merugikan ide dan aspirasi para wanita itu, karena secara alami, wanita dikelilingi oleh lingkungan yang banyak menggunakan verbal. Artinya, wanita lebih banyak berbicara, berinteraksi dan bergaul. Namun tidak semua lingkungan pergaulan ini baik adanya, malahan banyak yang berisi para ’nay-sayer’, yaitu orang-orang yang negatif, pesimistis dan bahkan mentertawakan ide mereka. Akibatnya, banyak wanita yang terkubur idenya karena mendengarkan para ’nay-sayer’ ini, yang sering mencemooh dan mencibir ide rekan wanitanya. Namun, dengan keteguhan hati, seorang wanita tetap dapat maju memperjuangkan idenya dan berhasil. Salah satu contohnya adalah JK Rowling, pengarang tokoh Harry Potter , yang tetap menerbitkan novelnya dan di tengah cemoohan dan cibiran lingkungannya yang tidak menyukai ide fantasinya.
Akhirnya, dari sekian banyak contoh dan uraian di atas, mari kita bertanya kepada diri kita sendiri, apa tujuan kita dalam berkecimpung di dunia kerja. Kemudian, kita kembali berpegang teguh pada tujuan kita tersebut dan mulai menghargai diri kita dan sesama ibu bekerja. Saya jadi teringat, salah seorang mantan direksi kita pernah berkata bahwa beliau sangat mengapresiasi ibu bekerja - tentunya yang berprestasi – karena perjuangannya lebih berat dibandingkan dengan para pekerja lelaki. Saya sempat heran, karena saya selalu merasa ada handicap di ibu bekerja, sehingga mereka tidak bisa berprestasi selayaknya rekan kerja laki-laki, namun pimpinan justru melihatnya sebagai ’nilai tambah’.
Terakhir, ada baiknya kita mengutip Gloria Vanderbilt yang mengatakan ”I’ve always believed that one woman’s success can only help another woman’s success”. Artinya, dengan bahu membahu, kita harus mempertahankan apa yang telah diperjuangkan ibu Kartini, yaitu emansipasi wanita, dengan terus berprestasi demi perusahaan kita tercinta ini. Selamat Hari Kartini.
Merupakan salah satu artikel di buletin perusahaan, yang ditulis oleh salah seorang pegawai wanita dalam rangka memperingati Hari Kartini
Tulisan ini tidak dimaksud untuk membanding-bandingkan jender, namun lebih ingin menggugah para pegawai wanita di perusahaan ini yang jumlahnya sudah mencapai 30% dari total pegawai, dimana 50% di antaranya sudah berkeluarga dan mempunyai anak, sehingga bisa disebut sebagai ibu bekerja. Setiap orang punya alasan masing-masing untuk bekerja, begitu pula para ibu ini, yang pastinya akan berbeda satu sama lainnya. Namun yang harus digarisbawahi adalah keputusan untuk bekerja ini yang harus ditunjukkan dengan komitmen yang kuat, apapun latar belakang alasannya. Artinya, apabila para ibu sudah memutuskan untuk bekerja, maka kita harus menunjukkan kepada perusahaan, termasuk kepada para pegawai lelaki, bahwa kita mempunyai komitmen yang sama dengan para pegawai lelaki. Beberapa tahun yang lalu, sekelompok ibu bekerja disini melakukan pendekatan ke beberapa pihak agar disediakan Tempat Penitipan Anak di kantor, mengingat saat itu banyak ibu bekerja yang mempunyai anak yang masih bayi. Walaupun permintaan itu ditolak, tidak membuat para ibu bekerja itu jadi patah semangat, masih banyak cara untuk tetap dapat memberikan ASI bagi bayinya. Artinya, jangan hanya karena kita tidak mendapatkan kemudahan, kemudian membuat kita menjadi tidak berprestasi. Jadi, jangan mencari-cari alasan “kewanitaan” kita untuk mendapatkan kelonggaran atau kemudahan dibandingkan dengan pegawai lelaki. Contohnya, sebagai sesama ibu bekerja, sungguh tidak enak melihat barisan tas wanita di depan mesin absensi ketika jam menunjukkan pukul 16.29, 1 menit sebelum jam pulang kantor!
Namun, tulisan ini tidak untuk menghakimi siapapun, tulisan ini akan membahas sifat-sifat wanita yang dapat kita manfaatkan sebagai kelebihan kita ketika kita harus berkecimpung di dunia kerja. Dalam sebuah buku berjudul The Art of War for Women yang ditulis oleh Chin-Ning Chu, Chin menuangkan strategi berperang Sun Tzu sebagai senjata para perempuan. Sebagai informasi, Sun Tzu dikenal sebagaai maha guru seni berperang. Sun Tzu yang misterius ini dilahirkan di kota Tungan, Semenanjung Shantung, pada tahun 535 SM. Sun Tzu menuangkan semua ilmunya tentang cara berperang yang disebut Pin Fa atau seni berperang yang kemudian diterapkan pula untuk ’berperang’ di dunia bisnis dan politik.
Dalam bukunya, Chin menerapkan beberapa strategi Sun Tzu, yaitu Tao (moralitas dan motivasi), Tien (waktu), Di (sumber daya), Jiang (kepemimpinan) dan Fa (metode). Kelimanya secara efektif dibalut dalam sebuah taktik pengalihan. Sun Tzu mengajarkan agar ’tampak lemah justru pada saat kuat’. Dengan menampilkan sosok diri lemah, perempuan dapat memetik kemenangan dari kelengahan pria yang merasa kuat dan dominan. Sun Tzu selalu berkata bahwa perang tidak selalu berkaitan dengan perkelahian, namun lebih tentang menetapkan cara efisien meraih kemenangan dengan sedikit mungkin terlibat konflik dan mengakibatkan timbulnya korban. Salah satu alasan mengapa seni perang Sun Tzu cocok bagi kaum perempuan adalah bakat alamiah perempuan yang merupakan anugrah, yaitu pemecah masalah dan negosiator alamiah. Bakat perempuan ini bisa membuat kondisi yang sebetulnya bisa menghasilkan menang dan kalah dapat diubah menjadi situasi win-win.
Lain halnya dengan yang disampaikan oleh Anthony Dio Martin dalam artikelnya yang berjudul "Wanita dan Kesuksesan” di harian Bisnis Indonesia Minggu, 27 April 2008. Martin menilai wanita banyak diisi oleh dimensi ying, seperti kelembutan, kepedulian, hati, perasaan dan fleksibilitas, sementara laki-laki lebih diisi oleh dimensi yang, seperti kekuatan, rasio, otot, keras dan macho. Tentunya, agar seimbang, kedua dimensi itu harus ada di dalam dunia kerja.
Namun, seringkali wanita masih mempunyai kebiasaan ataupun pola pikir yang masih menghambat dirinya dalam mengaktualisasikan kemampuannya. Hal ini tentunya tidak lepas dari adat istiadat dan budaya kita yang mayoritas menganut sistim patrialistik. Ada 4 pola pikir yang merupakan penghambat wanita, yaitu:
Limiting belief (keyakinan keliru)
Tanpa disadarinya, banyak wanita menganggap bahwa peluang sukses hanya dimiliki oleh kaum lelaki, laki-laki takut dengan wanita sukses, wanita sukses sulit dapat jodoh, wanita yang karirnya sukses keluarganya pasti kacau, wanita tempatnya di rumah atau wanita yang sukses dan berhasil tampak tidak feminin dan mengerikan. Anggapan-anggapan inilah yang seringkali membuat para pegawai wanita takut untuk berprestasi atau berambisi untuk mendapatkan posisi yang lebih baik. Memang kadangkala agak sulit untuk mengabaikan ”nilai-nilai” yang ada di masyarakat, terutama mengenai peran wanita di rumah tangga. Seorang rekan kerja laki-laki menyatakan simpatinya pada istrinya yang tidak bekerja dan menjadi full mom. Katanya, istri saya tidak pernah cuti bertahun-tahun. Coba bayangkan ibu bekerja, mereka mempunyai double job, dibandingkan dengan ibu rumah tangga yang single job, artinya begitu ibu bekerja cuti dari kantor, mereka tetap harus bekerja di rumah! Namun, itu tidak berarti bahwa ibu bekerja tidak dapat menyiasatinya. Banyak cara untuk menyiasatinya, terutama dengan kemajuan teknologi. Contohnya, bawa pulang saja pekerjaan kita dan kerjakan di rumah bersama-sama dengan anak-anak yang juga mengerjakan PR. Siapa bilang pekerjaan tidak boleh dibawa ke rumah, yang tidak boleh adalah stress atau kemarahan di pekerjaan yang dilampiaskan kepada anak-anak di rumah. Ada sisi positif dalam mengerjakan pekerjaan di rumah, yaitu selain kita dapat tetap melihat perkembangan anak-anak dan berinteraksi dengan mereka, anak-anakpun menyadari bahwa semua orang, bahkan ibunya punya PR, jadi lebih mudah bagi kita untuk menyuruh anak-anak mengerjakan PR karena kita memberikan contoh padanya. Kiat lainnya, apabila dinas ke luar kota, sudah banyak saluran komunikasi yang memfasilitasi video conference, seperti teknologi 3G, maupun webcam, internet, dll. Kiat lainnya, ubahlah persepsi kita, dari ibu rumah tangga, menjadi manajer rumah tangga, artinya, kita harus me-manage orang untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga kita. Selain tugas rumah tangga terlaksana dengan baik, ini merupakan latihan bagi kita untuk dapat me-manage dan memimpin orang apabila nantinya kita ditunjuk jadi pimpinan di kantor.
Belas kasihan
Peluang dan kesempatan bagi wanita timbul karena tuntutan atau belas kasihan, bukan karena kenyataan potensi yang sesungguhnya. Karena itu muncullah istilah ’jatah’ kursi untuk perempuan, sebagaimana yang marak diberitakan saat ini. Hal semacam ini dapat melemahkan persepsi masyarakat soal kemampuan wanita. Padahal banyak contoh yang menunjukkan betapa seorang wanita memperoleh kursi atau posisinya karena kemampuannya dan bakat alaminya sebagaimana yang dikemukakan Chin dalam bukunya, yaitu sebagai pemecah masalah dan negosiator alamiah yang seringkali menemukan langkah jitu untuk mencapai win-win solution tanpa jatuh korban. Contoh yang baik adalah Margareth Tatcher dan Condoleezza Rice yang tidak mendapatkan kursinya karena belas kasihan, namun karena kemampuan dan bakat alaminya sebagai wanita.
Kurangnya harga diri
Prinsip yang umum adalah ketika seseorang tidak bisa menghargai dirinya sendiri maka sulit pula untuk mengharapkan orang lain untuk juga bisa menghargai dirinya. Artinya, seorang wanita harus menghargai dirinya sendiri, demi mendapatkan penghargaan dari orang lain. Seorang wanita seringkali tidak dihargai dan tidak mendapatkan respek karena mereka pun tidak memberikan kesempatan untuk menghargai dan memberikan respek pada dirinya sendiri. Contoh yang baik adalah Oprah Winfrey yang masa kecilnya sangat buruk, namun dengan menghargai dirinya dan tidak membiarkan dirinya ditentukan oleh masa lalunya yang buruk, membuat orang pun respek padanya.
Lingkungan yang tidak mendukung
Lingkungan wanita seringkali dipenuhi oleh orang-orang yang justru merugikan ide dan aspirasi para wanita itu, karena secara alami, wanita dikelilingi oleh lingkungan yang banyak menggunakan verbal. Artinya, wanita lebih banyak berbicara, berinteraksi dan bergaul. Namun tidak semua lingkungan pergaulan ini baik adanya, malahan banyak yang berisi para ’nay-sayer’, yaitu orang-orang yang negatif, pesimistis dan bahkan mentertawakan ide mereka. Akibatnya, banyak wanita yang terkubur idenya karena mendengarkan para ’nay-sayer’ ini, yang sering mencemooh dan mencibir ide rekan wanitanya. Namun, dengan keteguhan hati, seorang wanita tetap dapat maju memperjuangkan idenya dan berhasil. Salah satu contohnya adalah JK Rowling, pengarang tokoh Harry Potter , yang tetap menerbitkan novelnya dan di tengah cemoohan dan cibiran lingkungannya yang tidak menyukai ide fantasinya.
Akhirnya, dari sekian banyak contoh dan uraian di atas, mari kita bertanya kepada diri kita sendiri, apa tujuan kita dalam berkecimpung di dunia kerja. Kemudian, kita kembali berpegang teguh pada tujuan kita tersebut dan mulai menghargai diri kita dan sesama ibu bekerja. Saya jadi teringat, salah seorang mantan direksi kita pernah berkata bahwa beliau sangat mengapresiasi ibu bekerja - tentunya yang berprestasi – karena perjuangannya lebih berat dibandingkan dengan para pekerja lelaki. Saya sempat heran, karena saya selalu merasa ada handicap di ibu bekerja, sehingga mereka tidak bisa berprestasi selayaknya rekan kerja laki-laki, namun pimpinan justru melihatnya sebagai ’nilai tambah’.
Terakhir, ada baiknya kita mengutip Gloria Vanderbilt yang mengatakan ”I’ve always believed that one woman’s success can only help another woman’s success”. Artinya, dengan bahu membahu, kita harus mempertahankan apa yang telah diperjuangkan ibu Kartini, yaitu emansipasi wanita, dengan terus berprestasi demi perusahaan kita tercinta ini. Selamat Hari Kartini.
Merupakan salah satu artikel di buletin perusahaan, yang ditulis oleh salah seorang pegawai wanita dalam rangka memperingati Hari Kartini
Komentar
Posting Komentar