Konsep Rejeki


Rejeki itu adalah yang sudah kamu makan dan yang sudah kamu sedekahkan, kalau belum kamu makan atau kamu sedekahkan, itu belum rejeki kamu.

Saya pun manggut-manggut mendengarkan petuah teman saya itu.  Karena saya sering sekali komentar, belum rejeki saya, rejeki sudah diatur, dan lain-lain.  Tapi, teman itu memotong saya dengan kata-kata itu.  Artinya, bahkan barang atau uang yang sudah di tangan kita pun belum tentu merupakan rejeki kita.  Kenapa? Kembali teman saya itu bilang, barang atau uang itu masih bisa berpindah tangan, atau lebih serem lagi, uang yang di tangan kita bisa jadi digunakan untuk hal-hal yang tidak baik, jadi dimana letak rejekinya?  Wah, benar juga pikir saya, selama ini saya kegeeran kalau sudah punya rumah atau harta lainnya yang sudah atas nama saya, saya selalu berpikir itu sudah rejeki saya, namun setelah mendengar kata-kata teman saya itu, saya jadi berpikir, ternyata itu belum merupakan rejeki saya.  Properti atau harta saya itu bisa saja berpindah tangan, entah dijual atau saya serahkan ke orang lain, kan jadi bukan rejeki saya lagi.  Hmmmm…..

Namun, hari ini saya sempat galau, walaupun terus menerus menanamkan di kepala bahwa rejeki sudah diatur dan tidak akan tertukar.  Bayangkan, seseorang mengontak saya ingin sekali menyewa properti saya, namun setelah berbincang-bincang, saya malah menawarkan properti teman saya karena saya pikir lokasinya lebih sesuai bagi calon penyewa itu.  Ketika saya bercerita kepada salah seorang sahabat saya, dia pun berkomentar: kamu kok aneh?  Orang itu kan tertarik sama properti kamu, kenapa kamu malah nawarin properti orang lain?  Dengan jujur saya bilang: sebenarnya saya sekarang jadi galau, secara saya lagi BU, tapi kok malah nawarin ke orang lain.  Sahabat saya melanjutkan, nah kan, kenapa juga kamu nawarin punya orang?  Saya pun menjawab dengan sok religius, bahwa rejeki sudah diatur dan tidak akan tertukar.

Namun, lain di hati lain di otak.  Saya tak habis pikir, kenapa sih saya melakukan ini?  Saya terus berusaha untuk menanambkan dalam hati bahwa saya ikhlas kok, saya tulus ingin membantu sang calon penyewa yang kebetulan dari luar negeri sehingga kurang paham letak dan lokasi di kota saya.  Saya pun makin deg-degan ketika sang calon penyewa sepertinya akan deal dengan teman saya, yang kalau dibandingkan dengan saya, dia mah ga BU-BU amat.  Saya pun terus menanamkan dalam hati saya, sekeras-kerasnya, bahwa rejeki sudah diatur, dan saya akan mendapatkan yang lebih baik.  Amin.

Beberapa jam kemudian, Whatsapp sang calon penyewa masuk, dia bilang, maaf mbak ternyata saudara sepupu saya sudah membayarkan untuk saya, jadi saya ikuti saja pilihannya saudara sepupu saya itu.
Wah, saya pun membatin dalam hati, mungkin karena saya kurang ikhlas, yang dapat rejeki malah orang lain.  Hihi….

Anyway, saya pun terus menunggu rejeki yang lebih bagus dengan tetap berpikir positif dan ikhlas….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Frankly Speaking

Gembolan

On your mark, get set...