Antara Hati dan Perut


Pada saat perpisahan dengan teman-teman sekantor, saya bilang bahwa hati saya akan selalu ada di perusahaan, karena saya sudah begitu lama bekerja di sana, sehingga saya sangat mencintai perusahaan itu, saya ingin selalu dapat membantu perusahaan itu jadi besar, walaupun saya sudah di luar.

Beberapa tahun saya bertahan untuk tidak bekerja di perusahaan pesaing.  Setiap ada penawaran dari teman-teman yang sudah bekerja di perusahaan pesaing, walaupun penawarannya cukup menggiurkan, saya sering menolak dengan halus, atau tidak menindaklanjuti sama sekali.  Sampai-sampai saya pernah curcol ke salah seorang teman di bekas perusahaan, saya bilang, kenapa sih para pesaing ingin sekali mengajak saya bekerja sama, sementara boss-boss mu di bekas perusahaan saya tidak memandang saya sebelah mata?  Teman saya bilang, memang kamu valuable, tapi boss-boss baru ini tidak mengerti.  Tapi saya tetap tidak bergeming untuk masuk ke perusahaan pesaing,   Ya gimana ya, ini masalah hati.  Saya ga tega mengkhianati teman-teman saya di perusahaan yang lama. 

Di setiap kesempatan, apabila saya melihat peluang untuk bekas perusahaan saya, saya senantiasa merekomendasikan penggunaan jasa bekas perusahaan saya, saya juga selalu menyampaikan ke teman-teman tentang peluang-peluang yang ada.  Walaupun sering kali tidak digubris, saya tetap setia.  Karena ini masalah komitmen, pikir saya.  Beberapa orang coba menyadarkan saya, bahwa saya terlalu peduli dengan bekas perusahaan saya, namun coba pikir, apa sebaliknya mereka peduli terhadap saya?  Saya selalu memikirkan teman-teman saya yang masih bekerja di sana, bagaimana perasaan mereka apabila saya memberikan pekerjaan kepada pesaing mereka.  Kembali beberapa teman mengingatkan, mungkin teman-teman kamu juga sudah tidak peduli.  Masak sih?

Saya mulai berubah ketika semua bantuan saya tidak dihargai.  Saya akhirnya bekerja untuk partner bekas perusahaan saya dulu.  Saya lebih senang memasarkan jasa mereka, karena mereka lebih menghargai saya.  Sempat saya kena tegur pemegang saham bekas perusahaan saya, katanya, partner itu harus bekerja sama dengan bekas perusahaan saya.  Saya sampaikan ke boss partner, mereka hanya manggut-manggut.

Akhirnya saya menemukan kecintaan baru, passion baru, yang dunianya berbeda dari pekerjaan saya, kompetensi saya dahulu.  Hidup pun terasa lebih ringan, karena tidak harus memikirkan persaingan dengan bekas perusahaan saya dulu.  Saya berganti dunia....

Namun, kebutuhan hidup, kebutuhan perut ternyata tidak bisa ditahan, dan ternyata itu lah yang akhirnya bisa membuat saya terbuka matanya, tepatnya terbuka hatinya.

Hari itu, di tengah kebutuhan yang sangat mendesak, seorang pesaing mengajak saya bekerja sama.  Karena kebutuhan hidup, saya pun mengiyakan dengan catatan, hanya untuk sekali ini saja, untuk satu proyek ini saja.  Kerja sama berlangsung sukses dan saya pun dapat memenuhi kebutuhan mendesak itu.  Setelah itu, ternyata dia malah mengajak saya bekerja sama dengannya, membesarkan perusahaannya, yang nota bene perusahaan pesaing saya dulu.  Sahabat saya yang saya mintai pendapat pun bilang, ingat anak-anakmu yang masih banyak kebutuhan, ambil saja, lupakan perusahaan lama mu.  Ayo move on.  Baiklah, mungkin ini jalan yang sudah ditentukan oleh Tuhan, saya harus move on, saya harus memikirkan anak-anak saya, daripada memikirkan orang-orang yang saya pikir peduli pada saya namun ternyata sampai hari ini mereka ......  Ga tega juga ngomongnya.  Sigh....

Ya, ternyata perut kadang-kadang mengalahkan hati....



Sometimes your heart need more times to accept what your mind already knows.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gembolan

Frankly Speaking

On your mark, get set...