Mind your own business
Pertama kali saya terkesan dengan ungkapan ini adalah ketika pewawancara saya menanyakan status perkawinan saya dan permasalahannya mengapa sampai terjadi perceraian. Dulu-dulu saya tidak pernah terlalu ngeh dengan ungkapan ini. Dan setelah itu, saya malah jadi senang dengan ungkapan ini, ga tau kenapa.
Ungkapan ini jadi makin sering saya sebut-sebut dalam hati,
karena saya sering jadi korban gosip di kantor atau di lingkungan mana pun saya
berada. Nasib memang….
Ada saja bahan perbincangan teman-teman tentang saya. Padahal saya bukan selebriti, tapi ada saja
orang yang membicarakan saya. Kebetulan,
saya memang obyek yang menarik. Saya
dulu punya pacar kaya dan ganteng. Ehm…. Mungkin itu yang bikin orang-orang
sirik. Hahaha.
Ada saja kritik teman-teman tentang pacar saya. Semua yang dia lakukan selalu salah di mata
teman-teman saya. Padahal, kami kan
tidak mengganggu mereka. Mind your own
business…..
Ketika pindah bekerja, status saya yang single menjadi bahan
perbincangan lagi. Ada saja topik
pembahasannya. Nah, ketika saya menikah,
topik pembahasannya berubah lagi.
Pokoknya ga pernah habis-habisnya pembicaraan tentang saya. Namun,
semakin lama, kelompok diskusi ini semakin berkurang jumlahnya, karena ada yang
keluar dari perusahaan, sehingga saya perhatikan, mereka rajin merekrut anggota
baru. Hehehe…
Ada saja orang yang mereka “bully”, mereka jadikan pokok
bahasan. Hebatnya mereka, berita bisa
beredar dalam hitungan menit. Hal ini
yang dulu saya manfaatkan, apalagi ketika saya memegang jabatan yang cukup
strategis. Saya kadang-kadang harus
menangkap aspirasi karyawan, menggali opini karyawan, bahkan jadi intelijen,
apa yang terjadi, apa yang diharapkan oleh karyawan dan lain sebagainya. Jadi, apabila ada topik yang harus saya
sebarkan secara informal dan butuh opini karyawan, saya tahu harus berbicara
dengan siapa. Cukup pura-pura bertemu di
musholla, ngobrol ngalor-ngidul, setelah selesai sholat dan kembali ke ruangan,
cek kepada sekretaris atau karyawan lainnya, pasti berita sudah beredar dan
berbagai opini sudah berkembang. Nah,
sukseslah tugas saya, menyebarkan informasi dan mendapatkan feed back. Haha….
Ketika saya sudah cukup senior, dan mungkin mereka kehabisan
bahan diskusi tentang saya, atau mereka bosan dengan saya, maka obyek mereka
berganti. Biasanya, mereka suka
menghakimi karyawati yang lainnya, terutama yang memang tidak “sejalan” dengan
mereka. Yang kadang-kadang membuat saya
tidak habis pikir adalah terkait pakaian, tas, sepatu, sehingga ada kejadian
yang menurut saya kurang pantas. Saya
termasuk yang sering membela “obyek” mereka, mungkin karena saya punya empati,
pernah mengalami menjadi “obyek”.
Nah, setelah saya keluar dari kantor itu, ternyata, saya
mulai menjadi “obyek” pembicaraan lagi.
Yah sudahlah, mungkin mereka memang merasa lebih baik dari saya, dari
orang-orang yang mereka bicarakan, mereka hakimi. Untungnya, saya sudah sangat terlatih
sehingga cukup berkata dalam hati: “mind your own business……”
Komentar
Posting Komentar