Krisis Identitas
Saya baru saja mengikuti workshop menulis kreatif, dimana di situ diminta memutuskan identitas kita apa, kita ingin dikenal sebagai apa, sebelum kita mulai membuat tulisan. Karena, menurut instrukturnya yang canggih itu, semua tulisan yang kita buat harus dapat mendukung branding kita, sehingga identitas kita, branding kita menjadi penting. Semua yang kita tulis merupakan marketing dari branding kita itu, identitas kita itu, apakah sebagai penulis, petualang, lawyer, konsultan, pemerhati kuliner, apapun. Dan saya pun bingung…..
Saya jadi pusing, galau, bingung, karena tidak dapat
menentukan identitas yang kemudian akan menjadi branding saya. Saya pun jadi krisis pede, krisis
identitas. Padahal di lubuk hati yang
paling dalam, saya marah pada diri sendiri, masak sudah setua ini, masih krisis
identitas? Hahaha…..
Saya pun terus berargumen pada sang instruktur yang
kebetulan sahabat saya itu, bahwa saya memang ingin tiarap dulu saat ini, saya
ingin tidak dikenal, karena kasus yang sedang menimpa saya. Namun, sang instruktur membukakan mata
saya. Dia mengajak saya menanyakan ke
mbah Google, informasi apa saja yang diperoleh bila saya mengetikkan nama saya. Saya pun langsung baper, karena saya kan
sudah sering mencoba dan sudah tahu hasilnya, bahwa informasi yang akan keluar
adalah terkait kasus saya, sehingga di halaman pertama hasil googling pasti
dapat menggambarkan identitas saya, branding saya, yaitu seorang terdakwa
korupsi. Huhuhu…..
Nah, sang instruktur pun bilang, artinya branding saya dikuasai
oleh orang lain, saya tidak mengontrol branding saya. Kalau saya rajin menulis hal-hal baik,
minimal aktif di medsos, pasti berita-berita itu akan tergeser ke
halaman-halaman berikutnya, yang jarang dibaca orang, kecuali kepo banget. Lah, saya kan juga tidak aktif di medsos,
bagaimana bisa posting. Blog saya pun
pakai nama pena, jadi tidak akan muncul identitas saya. Bingung….
Saya pun kemudian berkilah lagi, tentang nasehat mantan
dosen saya tentang Humility (http://baby-godlovesme.blogspot.co.id/2016/01/humility.html). Saya sok
suci bilang ke sang instruktur bahwa saya tidak perlu branding lagi, saya punya
humility. Kembali sang instruktur
bilang, yah itu kan pilihan, karena googling ibaratnya sebagai malaikat
pencatat baik buruknya kita, jadi pilihanmu lah tercatat sebagai terdakwa
korupsi. Benar-benar saya galau,
aaaahhhh…..
Keesokan harinya tiba-tiba saya dapat undangan makan bakso
dari mantan dosen saya itu, kok pas ya?
Di saat saya galau, saya krisis identitas, sang dosen malah mengajak
bertemu. Jadilah saya curcol, saya
bilang, saya kan menerapkan konsep humility dari bapak. Yang mencengangkan, beliau bilang, siarkanlah
hal-hal baik, berbagilah hal-hal baik.
Dia pun meng encourage saya untuk menulis hal-hal baik dengan nama saya.
Baiklah…..
Komentar
Posting Komentar