Mandiri


Saya ingin sekali bisa mandiri, ingin bisa mengerjakan segala sesuatunya sendirian, secara saya takut sekali post power syndrome, karena terbiasa punya anak buah banyak, terbiasa dilayani, tinggal bilang, perintah, instruksi, selalu ada yang mengerjakan.  Jadi dengan kehilangan jabatan ini, saya bertekad sepenuh hati agar bisa mandiri.

Pada awal-awal masa lengser, memang agak sulit untuk membiasakan diri mengurus segala sesuatunya sendiri.  Jujur saja, yang paling ga tahan kalo harus ngantri, pffff…..

Namun, dengan berjalannya waktu, ternyata saya bisa sabar mengantri, apalagi sekarang kebanyakan instansi sudah menggunakan nomor antrian, sehingga kita bisa mengantri sambil duduk, tidak perlu berdiri dalam antrian.  Saya pun sudah terbiasa menyamankan diri dengan membawa gadget, sehingga bisa menunggu sambil mengerjakan pekerjaan, membalas email, browsing berita atau main game.  No big deal lah.  Bahkan, saking sudah pahamnya proses-proses menunggu di antrian, saya sering hanya di drop oleh sopir, lalu dia akan mencari tambahan dan kemudian menjemput saya kembali beberapa jam kemudian sesuai estimasi waktu saya, dan biasanya semuanya berjalan lancar.

Tapi hari ini, saya tidak dapat menahan tangis.  Awalnya, semua berjalan lancar, pagi-pagi sekali saya sudah mengantri di suatu instansi dan semuanya berjalan lancar.  Ketika pindah ke instansi yang lain, dan saya sudah ditinggal oleh sopir, saya merasa sangat optimis.  Bayangkan, ketika saya mau mengambil nomor antrian yang sudah cukup panjang, sang satpam memberikan nomor kecil, karena orangnya batal katanya.  Wuih, senangnya hati saya, karena saya lihat di papan pengumuman, saya hanya perlu menunggu beberapa menit.  Betul saja, tak lama, belum sempat saya buka-buka gadget, saya sudah dipanggil.  Nah, di situlah kemudian semua penderitaan saya dimulai.  Saya dioper ke sana kemari, ke lantai sana ke lantai sini, loket sana, loket sini, harus bawa ini itu, kalau tidak ada, silakan beli di toko buku seberang jalan, bla bla bla….

Akhirnya dengan lunglai saya mencari taxi dan segera menuju pertemuan berikutnya sambil mengatur strategi gimana mengurusnya selanjutnya.  Sambil menangis di dalam taxi, saya jadi teringat untuk minta tolong orang lain.

Di tempat pertemuan berikutnya, seorang teman nyeletuk, kenapa sembab gitu nangis ya?  Saya pun berkeluh kesah sambil menceritakan solusi yang akhirnya saya pilih, yaitu menyuruh seseorang untuk melakukannya.  Dia pun nyeletuk, makanya, kalo biasa nge boss, ga usah deh sok mandiri….

Bahkan, teman yang lain sempat berkomentar, mending kamu bayar anak buah mu itu, daripada kamu menghabiskan waktumu untuk urusan itu, karena kan manhour kamu jauh lebih tinggi, mubazir kamu menghabiskan waktu untuk hal yang bukan kompetensimu, lebih baik kamu mengerjakan porsimu dengan bayaran lebih dan membiarkan porsi orang lain dikerjakan oleh orang lain yang kamu bayar dari hasil karyamu, win-win kan?

Huhuhu, benar juga, banyak hal yang mungkin tidak bisa kita lakukan sendiri, bukan karena kita tak mau atau malas, namun karena kita dapat berbagi peran, dan tentunya berbagi rezeki….

Walaupun saya selalu mengajarkan anak-anak saya untuk mandiri, namun mungkin saya harus dapat mengajarkan mereka untuk dapat pula menentukan prioritas dan tentunya untuk berbagi…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Frankly Speaking

Gembolan

On your mark, get set...