U don’t have to be Rich



Sebagai ibu dari anak yang akan menghadapi ujian, saya sangat antusias apabila ada undangan pertemuan dari sekolah, karena saya yakin akan banyak informasi seputar ujian anak-anak.  Jadi lah saya selalu menyempatkan hadir dan duduk paling depan supaya bisa fokus, ga diajak ngobrol kiri kanan dan mudah bertanya.

Hari itu pertemuan digelar dalam rangka memberikan informasi bahwa ujian anak-anak akan dilaksanakan menggunakan computer, namun sekolah hanya punya computer kurang lebih seperempat dari jumlah murid.  Jadi, apabila dilakukan as it is, maka ujian akan dilakukan dalam 4 shift dimana shift terakhir dimulai pukul 8 malam dan berakhir pukul 11 malam.  Fuih…

Jadi sekolah berinisiatif untuk memohon bantuan pinjaman computer atau laptop dari ortu murid, dengan harapan pelaksanaan ujian dapat dilakukan dalam 2 shift saja, sehingga akan berakhir pada siang atau sore hari.

Berbagai reaksi timbul, kebanyakan memang mempertanyakan kebijakan pemerintah tentang ujian berbasis computer padahal fasilitas sekolah tidak dilengkapi, mempertanyakan kebijakan sekolah, dan lain-lain yang intinya keberatan.  Saya termasuk satu di antara sekian orang yang tidak keberatan, karena saya berempati pada sekolah.  Hari gini, minta dana dari Negara pasti susahnya minta ampun, tapi untuk minta sumbangan ke murid pun tak mungkin, Kepsek bisa dipecat.  Dilema memang. 

Berkali-kali sang Kepsek bilang, permintaan ini hanya untuk yang ikhlas.  Saya menangkap bahwa sang Kepsek ga mau ditanya banyak, prinsipnya, kalo ga ikhlas ya ga usah.  Bener dong.

Ketika pertemuan usai, diumumkan bahwa yang bersedia meminjamkan laptop agar berbaris sesuai kelas anaknya.  Saya pun baris paling depan, secara saya duduk paling depan, berhadap-hadapan dengan sang Kepsek.  Eh, sudah saya paling depan, ada aja ibu-ibu yang menyalip saya karena ingin paling depan.  Saya pun mengalah, ga penting banget deh bu.

Selesai pertemuan, wali kelas anak saya pun curcol pada saya, betapa sulitnya meminta pinjaman dari anak-anak, karena pasti berakhir penolakan.  Padahal, kata ibu walas, setiap hari mereka bawa laptop yang canggih-canggih.  Duh, miris dengernya.  Saya pun jadi bertekad ingin memenuhi kebutuhan itu, dan dengan gagah berani, saya pun berjanji pada sang walas.

Singkat kata, ternyata antusiasme para ortu di kelas anak saya tidak terlalu tinggi.  Sehingga saya dan walas harus putar otak untuk mendapatkan tambahan computer.  Saya pun mencoba meminjam PC dari kantor,juga laptop.  Syukurlah, saya mendapatkannya.  Dengan demikian, terpenuhilah kebutuhan kelas anak saya.

Ketika sedang mengurus computer di sekolah, sang walas pun curcol masalah murid-muridnya yang dia anggap pelit.  Saya pun jadi penasaran dan mulai cari tau tentang para ortunya.  Benar saja, ada anak yang rumahnya hanya beberapa meter dari sekolah, rumahnya sangat mewah, ada kubah emasnya.  Wow.  Selain itu ada lagi anak yang rumahnya baru direnovasi dan sekarang jadi sangat mewah, bahkan kemewahan itu terasa pada saat perayaan ultahnya yang diselenggarakan di suatu hotel.  Wow.  Itu baru 2 contoh anak dan ortu yang tidak tergerak untuk meminjamkan laptopnya.  Baiklah, saya jadi bisa mengerti perasaan bu wali kelas.

Tapi, tidak ada gunanya mengharapkan mereka untuk membantu meminjamkan, karena tidak semua orang punya cara pandang yang sama. Terlepas dari itu, ternyata kelas kami dapat mengumpulkan pinjaman computer yang paling banyak di antara kelas lainnya di sekolah itu,  syukurlah.

Moral of the story, u don’t have to be rich to care….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gembolan

Frankly Speaking

On your mark, get set...