Why Me
Saya baru saja menjenguk teman saya yang sedang menjalani
kemoterapi untuk kankernya. Sambil
menemani dia kemo, dia bercerita pada saya bahwa di awal-awal dia sempat
bertanya-tanya, tepatnya bertanya pada Tuhan, kenapa harus dia yang kena
kanker. Why me?
Namun dengan berjalannya waktu, dia akhirnya bisa menerima
dan menjalani semuanya dengan tegar.
Syukurlah.
Beberapa hari sebelumnya, kakak saya baru saja bercerita,
bahwa kakak iparnya kena kanker dan sampai sekarang masih mengeluh, kenapa sih
dirinya kena kanker. Why me?
Saya pun jadi teringat, pertanyaan yang sama pernah melanda saya
beberapa tahun yang lalu, ketika saya dikriminalisasi. Sempat gelap rasanya dan kerap bertanya pada
Tuhan, kenapa saya, kenapa bukan yang lain saja.
Why me?
Untungnya, setelah beberapa tahun menjalaninya, walaupun
belum selesai-selesai juga sampai sekarang, sampe bosen banget rasanya,
akhirnya saya dapat menerima keadaan, menjalaninya dengan tenang dan tetap
merayakan hal-hal kecil yang bisa dirayakan, yang bisa membuat bahagia.
Saya jadi berpikir, ternyata semua manusia sering merasakan
hal yang sama ketika dirinya ditimpa masalah yang berat. semua berpikir, kenapa sih harus saya? Why me?
Jadi, saya tidak sendirian, saya ga lebay, hehe.
Anyway, kalau dilihat siklusnya, orang pasti kaget ketika
dihadapkan dengan masalah yang menurut ukuran masing-masing sangat pelik, namun
dengan berjalannya waktu, mereka biasanya akan dapat menerimanya dan
menjalaninya. Time will heal...
Karena di sisi lain, kalau saya perhatikan, orang-orang yang
cepat menerima, cepat move on, perjalanannya mengarungi permasalahannya terlihat
lebih enteng, lebih ringan melangkah, yah karena sudah bisa menerima itu. Sebaliknya, yang masih kerap mempertanyakan,
menggugat kenapa dirinya, justru akan terlihat semakin berat penderitaannya.
Saya membandingkan beberapa teman atau kerabat yang terkena
kanker. Yang cepat menerima terlihat
begitu santai, tetap dapat bercerita dengan penuh keceriaan, sebagaimana saya,
masih bisa merayakan hal-hal kecil yang bikin happy. Namun, yang masih tetap mempertanyakan
terlihat lebih berat dalam mejalani tahap demi tahap pengobatannya, sehingga
makin seringlah mereka mengeluh.
Padahal saya ingin sekali memberi tahu mereka bahwa semuanya
akan lebih ringan kalau kita lebih dapat ikhlas menerimanya, tapi saya takut
dibilang sotoy. Duh, gimana ya ngasih
tau nya?
Time does not heal
everything, but acceptance will heal everything.
Komentar
Posting Komentar