Daddy's Girls


Kami mempunyai 3 orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki.  Ketiga anak perempuan saya jarak umurnya berdekatan, sehingga mereka selalu bersekolah di sekolah yang sama, sampai dengan sekolah menengah atas.  Setelah berkuliah, mereka mengikuti minatnya masing-masing.  Dua anak pertama memiliki minat yang sama, namun yang ketiga memilih bidang yang berbeda.

Mempunyai 3 anak perempuan tidak mudah, karena kadang mereka suka bertengkar, namun di saat lain malah sangat kompak dan saling membela, tepatnya melawan kepada orang tua.

Saat suami masih ada, segala permasalahan anak-anak bisa kami diskusikan, walaupun saya sering berbeda pendapat dengan suami, karena suami memang lebih sayang pada anak-anak perempuannya, sementara saya lebih dekat kepada anak laki-laki semata wayang.  Ketiga anak perempuan kami memang dekat dengan ayahnya, sehingga saya menyebut mereka Daddy’s Girl.  Suami saya memang sangat memperhatikan gadis-gadis kecilnya.  Bahkan ketika mereka semua sudah berumah tangga, suami saya senang sekali berkunjung ke rumah-rumah mereka, bahkan dengan rela memomong cucunya.

Ketika suami saya meninggal, berbagai persoalan dihadapi anak-anak perempuan kami.  Terutama yang kedua dan ketiga.  Anak pertama kami hidupnya cukup aman dan damai.  Saya sungguh bingung, tiada teman untuk berdiskusi, paling saya hanya bisa curhat kepada anak ketiga, sedangkan kepada anak pertama dan kedua saya merasa sungkan.

Anak kedua kami ternyata mengalami masalah yang cukup pelik.  Dia berkecimpung di dunia pendidikan yang tujuan akhirnya hanyalah ingin menjadi seorang profesor, seorang guru besar.  Yang menyedihkan, anak kedua dihalang-halangi guru besarnya  oleh sekelompok orang yang tidak menyukainya.  Saya pun sempat ikut turun tangan membantunya, seperti membantu menyampaikan dokumen ke instansi terkait, demi anakku.  Akhirnya, setelah penderitaan bertahun-tahun,  saya bisa menyaksikan upacara pengukuhan anak kedua saya sebagai guru besar di universitas tempatnya mengabdi selama bertahun-tahun.  Saya sungguh terharu dan bangga, rasanya semua tetesan air mata terbayarkan,  Namun, saya jadi teringat suami saya, sayang ayahnya tidak dapat hadir dan menyaksikan peristiwa ini, karena saya sangat yakin,  ayahnya akan sangat bangga melihat putrinya menjadi guru besar.  Ya, di awal saya merasa semuanya gelap, seperti berjalan di lorong tak berujung.  Namun, akhirnya, kami tiba di ujung lorong dan dapat melihat indahnya cahaya matahari.

Yang ketiga juga menghadapi masalah hukum yang sangat berat.  Padahal, sebelumnya anak ketiga sempat menduduki posisi yang cukup bergengsi di kantornya.  Saya sempat terpikir, sayang ayahnya sudah tiada, kalau tidak, ayahnya pasti sangat bangga.  Namun ternyata, beberapa tahun kemudian, dia terpaksa mengalami hal yang sangat menyulitkan, sehingga saya rasanya tidak tega melihat anak ketiga saya.  Saya hanya bisa berdoa agar permasalahannya cepat selesai.

Ya, dengan selesainya permasalahan putri kedua saya, saya berpikir, mungkin memang saya hanya perlu bersabar menghadapi permasalahan putri ketiga.  Ya, saya berharap pelan-pelan masalah putri ketiga saya juga segera selesai.  Mudah-mudahan anakku, dalam waktu dekat, kita akan dapat melihat cahaya di ujung lorong gelap ini.  Hanya butuh kesabaran, ketabahan dan tentunya kekuatan untuk terus berjalan menyusuri lorong gelap ini.  Bertahan ya nak, doa ibu selalu menyertaimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gembolan

Frankly Speaking

On your mark, get set...