Di Situ Kadang Saya Merasa Sedih
By Mirma Fadjarwati Malik
Hari ini akan benar-benar jadi hari yang melelahkan buat saya. Rencana saya, dari pagi saya akan duduk manis di kantor pajak, kemudian membantu mengambil pesanan barang di toko, sembari makan siang lebih awal, early lunch, kemudian mengantarkannya ke tempat pengepakan. Siangnya saya harus meeting dengan seorang petinggi perusahaan untuk membicarakan proyek besar, kemudian mampir ke kantor baru seorang teman untuk mensurvey apakah cocok untuk digunakan sebagai tempat pelatihan dan malamnya saya berjanji pada ibu untuk menemani beliau bertemu dengan orang-orang yang akan membantu pengurusan tanah Ayah.
Malam itu pun terpaksa saya mengejar orang tersebut ke tempat lain, karena dia sudah tidak sabar menunggu di rumah ibu. Jadilah saya mengarungi kemacetan lagi untuk pertemuan terakhir ini. Yah sudahlah, ini semua demi ibu.
Hari ini akan benar-benar jadi hari yang melelahkan buat saya. Rencana saya, dari pagi saya akan duduk manis di kantor pajak, kemudian membantu mengambil pesanan barang di toko, sembari makan siang lebih awal, early lunch, kemudian mengantarkannya ke tempat pengepakan. Siangnya saya harus meeting dengan seorang petinggi perusahaan untuk membicarakan proyek besar, kemudian mampir ke kantor baru seorang teman untuk mensurvey apakah cocok untuk digunakan sebagai tempat pelatihan dan malamnya saya berjanji pada ibu untuk menemani beliau bertemu dengan orang-orang yang akan membantu pengurusan tanah Ayah.
Fuih, teman saya saja yang cuma mendengarkan rencana saya
itu bilang, dengernya aja cape. Kalau
saya berpikir, wuih ambisius sekali, secara jalanan pasti macet.
Diawali dengan pagi hari dimana jalanan tidak terlalu macet
dan saya hanya duduk manis di kantor pajak kurang dari setengah jam, membuat
saya amat sangat optimis bahwa semuanya akan berjalan lancar. Mulai terasa
tersendat ketika saya berdiskusi dengan sahabat saya yang tadinya berencana akan
makan siang bersama dengan menikmati diskon yang cukup menggiurkan di
resto-resto sekitar toko kami mengambil barang.
Ternyata saya harus mampir dulu di tempat lain sebelum ke toko, ada juga
barang-barang yang harus dibeli, dan lain-lain.
Sahabat saya pun langsung mengurungkan niatnya, dia bilang, pasti kita
tidak sempat makan siang. Tercoretlah
satu acara saya.
Benar saja, jalanan di jam-jam berikutnya jadi tidak
bersahabat, namun so far, sampai siang hari, acara-acara saya masih on
schedule. Begitu sore hari, ketika akan
melihat ruangan kantor, kemacetan sudah merajalela, sehingga jadwal mulai
molor. Dan akhirnya berimbas pada acara
malam hari. Saya harus pulang dulu
menjemput si bungsu, begitu keluar dari rumah, jalan pun sudah merayap,
sehingga kalau liat Waze, perjalanan yang akan saya tempuh ke rumah ibu adalah
2 jam. Di tengah jalan, ibu menelepon
dan bilang bahwa orang-orangnya maunya ketemu dengan saya, deal dengan saya. Saya pun sempat sewot, karena niat saya hanya
menemani ibu, tidak akan banyak bicara.
Dan yang lebih membuat saya lebih meradang lagi, kakak-kakak saya tidak
mau terlibat. Hah? Saya mulai merasa, kenapa semua harus saya?
Saya pun jadi ingat, saya pernah curhat dengan sahabat dekat
saya. Saya bilang, dalam pekerjaan dan
bisnis kita, little little to me, dari mulai meminta form pelaporan pajak, mengambil
surat, memasarkan jasa, menghubungi Notaris, sampai urusan yang sangat penting,
semua saya. Kenapa semua harus
saya? Bahkan, saya bilang, di situ kadang saya
merasa sedih, karena inisiatif rapat pun harus dari saya, bahkan sepertinya semua inisiatif harus dari saya. Huhuhu….
Kembali kepada kejadian hari ini, akhirnya acara malam saya
berantakan, karena orang yang ditemui ibu tidak mau menunggu satu jam
lebih. Dan saya tanya masalahnya apa,
ternyata hanya selembar surat. Rupanya
perjalanan saya 2 jam hanya untuk membuatkan selembar surat. Fuih….
Malam itu pun terpaksa saya mengejar orang tersebut ke tempat lain, karena dia sudah tidak sabar menunggu di rumah ibu. Jadilah saya mengarungi kemacetan lagi untuk pertemuan terakhir ini. Yah sudahlah, ini semua demi ibu.
Akhirnya, saya kembali ke rumah pada tengah malam dengan
segala kelelahan, cape fisik, cape hati dan cape pikiran. Dan ketika saya melihat sang sopir menutup
pagar, saya pun jadi berpikir, saya aja yang cuma duduk manis di mobil rasanya cape banget, gimana
dia ya? Wah, saya lebay, pasti sang
sopir lebih cape, karena dia lah yang menyetir mengarungi kemacetan. Dan yang kemudian terlintas di pikiran saya
adalah perasaan bersalah, bayangkan, sang sopir sudah datang di rumah saya pada
pukul 5 pagi, artinya dia berangkat mungkin jam setengah lima dan pulang lepas
tengah malam, sementara besok pagi pukul 5 sudah harus datang lagi ke rumah
saya. Duh, di situ kadang saya merasa sedih…….
Komentar
Posting Komentar