Late Post: Teachers’ Day


Setiap hari Guru, anak-anak saya selalu memesan hand bouquet untuk di bawa ke sekolah.  Saya jadi terharu, melihat betapa anak-anak sekarang lebih menghargai gurunya.  Mereka berlomba-lomba membawakan bunga atau sekedar kartu ucapan, untuk mengucapkan terima kasih kepada gurunya.  So sweet….

Saya jadi ingat, jaman saya kecil dulu, tidak ada Teachers’ Day.  Atau mungkin sudah ada, namun perayaannya tidak se menggema sekarang ini.  Kehadiran medsos juga makin membuat semuanya lebih bergema.  Namun, tanpa adanya Hari Guru pun, saya ingat, kami tetap respek, hormat pada guru kami.  Bahkan, ketika saya kecil saya melihat, profesi guru sangat mulia, sehingga saya bercita-cita ingin menjadi guru.  Kalau dipikir-pikir, dari garis keturunan pun saya mempunyai kakek dari pihak ibu yang memang berprofesi sebagai guru.  Nenek saya pun cukup bangga dengan cita-cita saya itu.

Namun, cita-cita pun tinggal cita-cita, karena semakin saya bertambah usianya, cita-cita menjadi gurupun akhirnya lenyap begitu saja.  Saya bahkan tidak tahu ingin menjadi apa ketika duduk di kelas 3 SMA. Bingung sekali akan melanjutkan kemana.

Satu-satunya kesempatan menjadi guru adalah ketika duduk di kelas 3 SMA.  Waktu itu seorang teman sekelas saya, yang memang paling pintar, ranking 1 di kelas, diminta guru Matematika kami untuk membantu beliau memberikan les privat Matematika kepada seorang siswa SMP.  Teman sekelas saya ga pede, jadi menawari saya untuk menggantikannya.  Ketika kami menyampaikan usulan ini ke guru Matematika, guru Matematika kami hanya bisa memandang khawatir, namun tetap mengiyakan.  Mulailah saya mengajar les privat Matematika untuk anak SMP itu.  Si anak SMP itu pun saya kerjain, saya berikan tugas-tugas saja, sementara saya malah jalan-jalan.  Yang penting, saya hadir ketika awal les dan saat waktunya selesai les, jadi sekitar 2 jam, saya berjalan-jalan saja di sekitar rumah guru tersebut, yang kebetulan cukup banyak dikelilingi mall.  Alhasil, ketika mendekati ujian Matematika, saya terpaksa mengajarinya di mobil, supaya dia bisa mengerjakan ujiannya.  Dia pun lulus dengan sukses, dan rahasia bahwa saya tidak pernah mengajarinya selama les, hanya kami simpan berdua, saya dan murid saya.  Hihihi….

Bertahun-tahun kemudian, ketika saya melakukan presentasi di suatu BUMN, salah seorang Direktur nya hadir dan baru menyadari bahwa dia mengenali saya.  Ya ampun, ternyata dia adalah satu-satunya murid saya, the one and only student in my life!  Saya pun jadi kagum, ternyata satu-satunya murid saya akhirnya menjadi Direktur suatu BUMN dan sekarang malahan menjadi Direktur perusahaan swasta nasional yang cukup bergengsi! Wah, ga nyangka juga, saya ternyata bisa menjadi guru dari seorang Direktur.  Walaupun, sekarang dia suka protes, katanya, saya dapat gaji buta dari ibunya dulu, karena saya tetap dibayar walaupun saya tidak mengajar dengan sungguh-sungguh.   Hahaha….

Dari situ saya jadi berpikir, betapa mulianya seorang guru, saya saja yang cuma punya 1 murid, ternyata saya berhasil juga ikut mengantarkannya menuju kesuksesan.  Itu baru saya, guru yang kebetulan aja jadi guru, gimana yang benar-benar guru ya?  Gimana guru-guru saya?  Dan itu akhirnya terjawab, ketika saya menghadiri pengukuhan guru besar kakak saya, dia mengundang guru-guru kami.  Ketika saya ngobrol dengan para guru, saya baru tau, bahwa beliau-beliau ini sering sekali datang ke tempat itu, menghadiri pengukuhan guru besar para muridnya.  Wuih, betapa bangganya, beliau-beliau para guru saya ini ternyata sudah mengantar begitu banyak muridnya menuju kesuksesan.  Teaching is the one profession that creates all other professions …….

Terima kasih para bapak dan ibu guru, tanpa bapak dan ibu, kami bukan siapa-siapa.   Selamat Hari Guru…..

A teacher affects eternity; he can never tell where his influence stops – Henry Adams

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gembolan

Frankly Speaking

On your mark, get set...