Akuisisi


akuisisi/aku·i·si·si/ n 1 perolehan; pemerolehan; 2 masukan (tt data komputer); 3 pemindahan kepemilikan perusahaan atau aset (dl industri perbankan terjadi apabila pembelian saham di atas 50%); pengambilalihan kepemilikan perusahaan atau aset; 4 Ek cara memperbesar perusahaan dng cara memiliki perusahaan lain.

Beberapa hari terakhir ini, sahabat saya agak galau.  Perusahaan yang dia buat, akan diakuisisi.  Sebenarnya tidak begitu tepat kalau dibilang di akuisisi, namun pada kenyataannya, memang hampir mirip dengan akuisisi.

Bayangkan, bagaimana “baby” nya itu yang dia lahirkan dan besarkan, tau-tau mau diakuisisi.  Sepertinya banyak keraguan, pertanyaan yang berseliweran di benaknya.  Bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu?

Saya pun berusaha untuk ber empati padanya.  Saya juga jadi membayangkan, bagaimana kalau bisnis saya yang saya rintis dari nol, tiba-tiba diakuisisi orang, atau dimasuki orang yang mungkin pikirannya hanya bisnis semata, tidak punya passion yang sama, tidak punya visi yang sama?

Saya sangat paham, apa yang mengganggu pikirannya.  Sahabat saya ini merasa sudah pontang-panting, namun ketika dilakukan penilaian atas usahanya, kok cuma segitu?  Saya pun berusaha menenangkannya, saya yang sedikit mengerti bilang, bisnismu kan bisnis ide, intangible, sulit untuk dinilai dalam bentuk uang.  Dengan adanya nilai yang cuma segitu itu, sebenarnya sudah bagus, artinya masih diakui bahwa itu semua ada nilainya, bukan hanya yang ada dalam pembukuanmu saja.  Saya juga mengerti, kita kadang menilai diri kita lebih tinggi, namun sayangnya, sulit untuk dibuktikan.  Sulit menjual sesuatu yang tidak nyata, yang ada di kepala kita, di impian kita.

Saya juga kemudian bertanya pada teman saya yang punya toko bunga.  Apabila ada orang yang ingin mengakuisisi bisnismu, apakah kamu memperbolehkannya?  Dia bilang, silakan saja.  Tapi pada kenyataaannya, setiap ada yang bilang ingin bergabung, atau menanamkan modal, sang pemilik bilang, ah ini bisnis hobby kok, ga harus jadi besar, cukup dengan begini saja.  See, dia pun ternyata sebenarnya ga rela, bisnis yang dirintisnya diserahkan ke orang lain.


Teman lainnya, sebenarnya tidak butuh tambahan modal, tapi ada orang yang ingin sekali masuk ke perusahaannya yang sangat prospektif.  Dia tidak butuh tambahan modal, namun orang yang ingin masuk ini orang yang sangat dia respek, mungkin ada hutang budi sedikit lah.  Namun dia tidak rela, karena dia sudah membesarkan perusahaannya selama belasan tahun sendirian.  Ya, benar-benar sendirian, dari nol.  Ketika sudah menjadi besar seperti ini, kok tiba-tiba ada yang mau masuk, begitu pikirannya.  Ya, saya cuma menasehati, kalau kamu tidak butuh modal, namun kamu tidak enak dengan orang tersebut, ada baiknya, kamu spin off saja salah satu bisnis mu, jadikan perusahaan baru dengan orang itu.  Jadi sama-sama dari awal, win-win.  Dia manggut-manggut dan saya malah berpikir, boleh juga saya jadi advisor.  Haha….

Memang sungguh sulit merelakan apa yang sudah kita rintis.  Rasanya, waktu susahnya kan kita yang pontang-panting, begitu sudah mulai keliatan bentuknya, kok orang lain yang menikmati?  Namun, ketika kita dihadapkan pada pilihan bahwa bisnis kita akan mati apabila tidak disuntikkan modal, apakah kita tega?  Ibaratnya, anak kita sendiri yang kita besarkan, kemudian karena kondisi tidak memungkinkan, anak kita diadopsi oleh orang yang lebih mampu sehingga hidupnya lebih terjamin, masa depannya lebih terjamin.  Tega kah kita? Huff, pilihan yang sulit….

At the end of the day, saya mendoakan semoga sahabat saya itu dapat menentukan pilihan yang tepat.  Coba pertimbangkan lagi masak-masak, sis.  Apa yang menjadi cita-citamu, apa mimpimu?  Mumpung masih ada waktu untuk menentukan pilihan.  Semoga pilihanmu tidak kau sesali di kemudian hari…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gembolan

Frankly Speaking

On your mark, get set...