Lega
Beberapa hari terakhir ini saya merasa lega karena telah dapat melakukan hal-hal yang saya nilai seharusnya sudah saya lakukan dari dulu. Atau ada kejadian yang mungkin dari kacamata orang lain merupakan hal yang merugikan saya, padahal di dalam hati saya sebenarnya lega.
Tadi pagi, saya dengan sangat terpaksa memberhentikan sopir
saya yang sudah cukup lama bekerja pada saya.
Dia sudah cukup berumur, jadi memang sangat sulit untuk diberitahu, juga karena sudah cukup lama bekerja,
benar-benar seenaknya dan tidak dapat memelihara mobil. Saya sudah sangat mangkel, makan hati lah,
namun saya kasihan padanya, sehingga saya sering mengelus dada saja. Saya pun sempat tidak bisa tidur tadi malam
karena membayangkan, apakah saya tega memberhentikannya. Paginya, saya sudah menyiapkan amplop
pesangonnya dan dengan tenang saya bilang bahwa saya mohon maaf, namun
sebaiknya bapak mencari pekerjaan di tempat lain. Tak dinyana, dia hanya bilang iya, pamit dan
berlalu. Fuih, leganya….
Siangnya, saya diberitahu oleh klien saya bahwa proyek
pelatihan saya dibatalkan, karena akan dilakukan secara internal, padahal
pelatihan itu merupakan ide kami.
Partner saya sempat nyeletuk, bahwa kami sebenarnya sedih karena ide
kami diambil. Namun, jujur saja, kami
berdua sebenarnya lega. Klien kami pun
sebenarnya terkejut dengan reaksi kami, kok proyeknya dibatalkan kami malah
lega? Kami menjelaskan bahwa sebenarnya
kami juga merasa tertekan dengan adanya pelatihan itu, karena suasana di kantor
sang klien memang tidak kondusif. Di
sisi lain, kami sebenarnya ingin menyampaikan juga ke klien kami, bahwa untuk
menjaga nama baiknya, memang sebaiknya proyek kami dibatalkan. Jadi, begitu kami mendengar pembatalan itu,
kami malah menghela nafas. Fuih, leganya….
Beberapa hari sebelumnya, saya juga baru merasa lega. Setelah beberapa bulan bekerja dengan boss
perempuan saya, akhirnya saya bertanya padanya, apakah dia tahu status saya,
apakah dia tahu kasus saya. Saya pun
mengungkapkan semuanya dan harap-harap cemas bahwa sang boss akan berubah
terhadap saya. Namun ternyata, boss malah
semakin baik pada saya. Fuih, leganya….
Hal itu juga terjadi ketika saya
menceritakan hal yang sama kepada sekretaris saya. Saya sudah pasrah bahwa dia akan berubah,
ternyata, dia malah simpati. Fuih,
leganya….
Bulan lalu, saya baru saja mendapatkan pemberitahuan bahwa
kontrak saya diputus. Semua teman saya
ikut khawatir, karena pastinya penghasilan saya akan berkurang. Namun sebenarnya, jauh di lubuk hati saya,
saya merasa tertekan dengan pekerjaan ini, karena saya merasa bukan bidang saya dan saya tidak mempunyai kompetensi yang cukup.
Ditambah, lingkungan kerjanya kurang sesuai dengan kepribadian
saya. Jadi selama masa kontrak, sebenarnya
saya cukup tertekan menjalankan pekerjaan ini.
Saya menajalankannya karena memang saya butuh penghasilannya, di samping
itu, saya tidak enak kepada orang yang sudah membantu saya mendapatkan
pekerjaan ini, selain itu, karena sudah digaji, saya kan tidak mungkin juga
tidak kerja. Jadi, kalau dipikir-pikir,
begitu kontrak saya diputus, saya langsung berpikir, memang hidup sudah
diatur. Fuih, leganya….
Dan setelah saya menuliskan semuanya ini, menumpahkan semua
isi hati saya, saya pun bisa berkata:
fuih, leganya….
Komentar
Posting Komentar