Maafkan Bunda, Nak….
Tidak mudah menjadi anak dari seorang perempuan yang mempunyai masalah sepelik saya….
Padahal mereka tidak memilih jadi anak saya, karena memang kita tidak bisa memilih ingin dilahirkan dari perempuan yang mana…..
Saya punya dua orang anak laki-laki. Si sulung termasuk kategori anak baik, cenderung pendiam, introvert dan sering di bully teman-temannya, namun prestasi sekolahnya cukup baik. Sedangkan si kecil adalah anak berkebutuhan khusus, sehingga butuh kesabaran lebih untuk menanganinya.
Dengan kondisi seperti itu, saya memang memfokuskan diri
untuk membantu si kecil melewati masa-masa sulitnya. Apapun saya “beli” untuk membantu si kecil,
bahkan ketika saya pensiun, mayoritas waktu saya adalah untuk mengurus si
kecil.
Begitu masalah pelik menimpa saya, saya benar-benar menjaga
si kecil. Karena si kecil terlihat
frustrasi ketika mengetahui masalah yang menimpa saya. Namun, karena saya terus menerus
memberikan pengertian, lambat laun si kecil mulai bijaksana dalam menyikapi
permasalahan saya, bahkan saya lihat dia mulai bersiap-siap menghadapi
kemungkinan terburuk.
Saya memang agak luput memperhatikan si sulung. Karena prestasi sekolah dia cukup
membanggakan, bahkan dulu saya cenderung khawatir berlebihan, sampai wakil
kepala sekolah bilang, agar saya tenang saja, karena si sulung memang baik
prestasinya.
Nah, beberapa bulan terakhir ini, si sulung terlihat sering
sakit, terutama pada pagi hari menjelang pergi ke sekolah. Biasanya diawali dengan tidak bisa tidur pada
malam harinya. Karena terlalu sering,
saya akhirnya menyimpulkan bahwa ini adalah masalah psikologis, bukan
fisik. Karena sudah saya obati, namun
tetap saja si sulung sering sakit. Akhirnya saya ajak bicara dari hati ke hati,
dan si sulung berkata bahwa dia tidak suka beberapa mata pelajaran di
sekolahnya. Lagipula, karena standar
sekolahnya lebih tinggi dibandingkan sekolah lainnya, beban yang diberikan
kepada siswa memang lebih berat. Saya
pun akhirnya membebaskan si sulung untuk memilih sekolah yang dia inginkan.
Saya juga membawa si sulung kepada neneknya yang kebetulan
seorang dokter dan sangat dekat hubungannya dengan si sulung. Dari neneknya pun saya dapat informasi yang
sama, bahwa si sulung ingin pindah sekolah.
Begitu pula ketika saya membawanya ke seorang psikolog, psikolog sangat
mendukung langkah saya untuk membebaskan si sulung dalam memilih sekolah. Awalnya saya lihat, si sulung jadi
bersemangat lagi, namun kemudian mulai murung lagi karena ternyata si sulung
sangat menyukai lingkungan sekolahnya saat ini dan dia tidak yakin apabila
pindah ke lingkungan baru dia akan betah.
Saya pun akhirnya memperkenalkannya kepada seorang hypno
therapist, dan si sulung diajarkan untuk relaksasi. Hasilnya lumayan, si sulung
terlihat lebih santai menghadapi sekolah dan malah mengurungkan niatnya untuk
pindah sekolah. Syukurlah, mudah-mudahan si sulung memang sudah tidak stress lagi.
Tapi, terus terang, ada hal yang mengganggu pikiran
saya. Apakah si sulung sebenarnya
mengalami stress karena memikirkan masalah saya? Memang sudah berkali-kali saya tanyakan, jawabannya
selalu tidak. Namun, jauh di lubuk hati
saya, saya yakin, si sulung pasti memikirkan masalah saya.
Oh, betapa sedihnya hati saya, ternyata saya telah membebani
pikiran kedua anak saya. Saya benar-benar
berharap agar masalah saya cepat selesai, sehingga anak-anak saya dapat kembali
bergembira selayaknya anak-anak lainnya.
Maafkan bunda nak…
Komentar
Posting Komentar