Foreign Student
Bagaimana rasanya jadi foreign student? Sekolah di negara lain tentu tidak mudah,
budaya dan tentunya bahasa yang berbeda menjadi tantangan tersendiri.
Sebagai siswa asing di Amerika, awalnya saya cukup ragu,
apakah bisa beradaptasi dengan baik.
Bahasa Inggris saya juga belum terlalu lancar. Waktu baru sampai di Amerika, saya sempat
diajak ke acara pertemuan international student, dihadiri oleh beberapa teman
dari Indonesia, Malaysia dan Jepang.
Saya ditanya, bagaimana perjalanan saya, dan saya sempat lupa akan menjawab
apa, akhirnya saya jawab: so so.
Sebagai foreign student, saya sering diundang untuk pesta
potluck, artinya saya harus bisa memasak.
Jadilah saya memasak dengan panduan buku resep yang saya bawa dari
Indonesia. Andalan saya adalah ayam
jahe, yang tidak pernah saya coba masak di Indonesia. Karena keterbatasan bumbu-bumbu, jadilah saya
mencari masakan yang bisa dimasak dengan bumbu seadanya.
Saya sempat memasak rendang untuk acara potluck Lebaran,
memasaknya benar-benar butuh waktu, sambil saya belajar Business Law. Bumbu rendang saya dapatkan di Asian Market,
dan tetap perlu santan. Sambil mengaduk,
saya membaca buku Business Law yang sangat sulit itu, karena esok harinya, ada ujian Business Law. Sudah mata pelajarannya susah, karena
perbedaan hukum di Indonesia dan di Amerika, juga bahasa hukum tidak sama
dengan bahasa sehari-hari. Untungnya,
saya berhasil mendapatkan nilai A untuk mata kuliah itu.
Karena tinggal di kota kecil, untuk mencari hiburan biasanya
kami pergi ke kota terdekat. Untuk
sekedar jalan-jalan ke mal atau nonton bioskop.
Karena di kota kami, mal hanya 1 buah, begitu pula bioskop. Kami dapat mengelilingi kota hanya dalam
kurang dari 1 jam, betapa kecilnya kota kami.
Karena itu, hampir setiap wiken kami bepergian ke luar kota. Suatu saat pernah kami nonton film di kota
lain dan saat itu akan terjadi angin tornado, sehingga bioskop ditutup dan kami
segera pulang. Saya pun tidak pernah
tahu akhir dari film yang saya tonton, karena penggantian tiket kami malah kami
gunakan unuk menonton film yang lain.
Saya juga cukup aktif ikut berbagai kegiatan yang ada. Kami sering harus ikut acara yang diadakan di
kota itu, namun sebagai wakil dari Indonesia.
Saya pernah harus ikut pawai berjalan kaki dengan menggunakan
kebaya, kain dan selop tinggi. Sungguh cape, namun tetap
fun. Saya juga terpaksa ikut menari
untuk festival kebudayaan, dan tentu saja ikut menjahit kostumnya. Di sana, kita harus kreatif, memanfaatkan apa
yang ada, sehingga apapun dimodifikasi untuk menampilkan kebudayaan Indonesia.
Saya juga rajin mengikuti organisasi yang ada. Di antara foreign student di situ, yang
terbanyak adalah komunitas Taiwan, sehingga biasanya mereka lah yang jadi
President dari International Student Organisation. Namun, sejak kedatangan saya, saya menggugah
teman-teman Indonesia untuk sekali-sekali ikut pemilihan presiden. Untunglah seorang teman berhasil saya panas-panasi sehingga bersedia running jadi
President of International Student, dengan syarat saya yang harus menyiapkan
semuanya: visi, misi, program, sampai pidatonya. Juga menyiapkan jawaban dan kasih kode pada saat
debat kandidat, juga saya harus bertanya kepada lawan. Haha. Walaupun kami
kalah, namun pengalaman ini sangat berharga, juga sempat membuat kagum siswa
asing lainnya karena kami sempat tampil untuk mengalahkan dominasi pelajar dari
Taiwan.
Melihat talenta saya, dosen pendamping international student
sampai meminta saya menjadi wakil International Student di Council, semacam
parlemen untuk siswa. Jelas saya
menolak, saya ga pede, hehehe. Saya
memang gemar mendukung orang lain untuk tampil, tapi saya sendiri tidak cukup pede dan tidak
punya minat untuk tampil.
Saya juga lebih memilih ikut kegiatan sosial, salah satunya
mengajarkan atau menjelaskan tentang Indonesia ke siswa Sekolah Dasar setempat. Saya terpaksa mempelajari salah satu kisah
pewayangan, karena salah satu topik yang harus saya presentasikan adalah wayang
kulit. Satu hal yang saya kagumi, murid
SD di sana berani bertanya, bahkan mendebat.
Waktu saya SD, saya kadang takut untuk bertanya. Bahkan sampai sekarang pun, saya
kadang-kadang takut bertanya di tengah rapat.
Saya sendiri tidak mempunyai teman akrab dari Indonesia,
karena memang di kelas saya, tidak ada mahasiswa Indonesia sama sekali. Saya bersahabat dengan seorang mahasiswi dari
Taiwan, yang kebetulan sempat berpacaran dengan teman Indonesia. Teman Taiwan saya ini sangat lengket dengan
saya, sehingga pernah menyempatkan diri ke Jakarta dan menginap di rumah saya,
walaupun saat itu saya belum pulang ke Indonesia. Ternyata, teman ini berkata kepada ibu saya,
mengapa dia sangat senang bersahabat dengan saya, dia bilang saya resourceful,
bisa cari jalan keluar untuk macam-macam situasi yang sulit, punya teman banyak
dan kenal hampir semua orang. Saya pun
sangat helpul. Saya sendiri tidak
merasakan hal itu, namun memang sejak kedatangannya pertama kali, saya sering
mengajaknya ke tempat-tempat baru yang mungkin akan dia butuhkan, juga memperkenalkannya dengan teman-teman lainnya. Mungkin itu lah
yang membuat dia merasa saya resourceful dan helpful. Saya pula yang memaksa dia belajar menyetir
mobil dan akhirnya berhasil, sehingga dia menjadi mandiri.
Begitu banyak pengalaman saya di sana, yang sangat membentuk
kepribadian dan sikap saya ke depan.
Saya menjadi begitu mandiri setelah bersekolah di sana. Namun, pada akhirnya, ketika saya
membandingkan kehidupan saya di sana dengan di negeri tercinta ini, saya tidak
mau kembali ke sana. Mengapa? Bukan karena di sana tidak ada asisten, semua
harus mengerjakan sendiri, namun di sana saya sering merasa kesepian. Lagipula, saya sering tidak tahan ketika
musim dingin dan salju tiba, begitu sulit untuk bergerak, begitu malas untuk beraktivitas.
Namun di saat saya menghadapi permasalahan berat saat
ini, sempat terlintas penyesalan yang mendalam, mengapa saya tidak menetap di
sana saja? Mengapa saya memutuskan untuk
kembali dan akhirnya terperangkap pada masalah yang rasanya tidak kunjung
berakhir, tidak ada ujungnya? Namun,
hidup sudah diatur, saya digerakkan untuk kembali ke tanah air. Ini adalah tempat dimana saya dilahirkan dan
di sini, banyak sekali teman dan keluarga yang selalu mendukung saya, di kala
susah dan senang. Dan mungkin, memang tugas saya ada di sini….
“Our obligations to
our country never cease but with our lives. - John Adams”
Komentar
Posting Komentar