The right to be happy

Saya punya teman-teman yang sangat berani menentukan pilihan untuk bahagia.  Ya, saya sangat kagum pada teman-teman ini karena mereka bisa menentukan jalan yang akan ditempuh demi mendapatkan kebahagiaan.  Terlepas dari pandangan orang, atau apa kata orang, mereka memilih jalan yang mereka anggap benar dan dapat membahagiakan dirinya.  Ya, karena happiness is a choice….

Mereka beranggapan, bahwa apapun yang kita lakukan akan selalu menarik dua reaksi, pro dan kontra.  Jadi, benar atau salah itu bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda, karena itu adalah persepsi.  Hal yang menarik, salah seorang teman mengatakan, ingat kan kalau di pesawat terbang, apabila tekanan udara di dalam pesawat berkurang, masker oksigen ke luar, kita harus memakai masker sendiri terlebih dahulu, baru menolong yang lainnya, termasuk menolong anak kita.  Artinya, kita sendiri harus selamat dulu, harus happy dulu, supaya bisa berfungsi buat orang lain.  Wih, saya kagum mendengarnya.  Mereka benar-benar berani memilih kebahagiaannya.  Kenapa saya bilang mereka berani?

Seorang teman saya memilih bercerai, karena setelah sekian lama dia merasa tertindas.  Yang terlintas di pikirannya cuma, mau jadi apa anaknya apabila dibesarkan oleh ibu yang tertindas?  Jadi dia berpikir, buat apa dia mengalah untuk tidak bercerai demi anak-anak, demi nama baik keluarga, dll, namun hidupnya terus tertindas?  Dia bilang, dia tidak setuju dengan prinsip “ biarlah aku sengsara asalkan kau bahagia”.  Enak saja, aku kan ingin bahagia. Hehehe.

Bahkan dia mencontohkan teman lainnya yang memilih menunda perceraiannya sampai anak-anaknya dewasa dengan alasan agar anak-anaknya tidak terguncang, yang terjadi malahan anak perempuannya menjadi pribadi yang sangat tertutup karena sehari-hari melihat ibunya yang tidak bahagia. Ternyata, anaknya bilang, dia ingin melihat ibunya bahagia, melihat ibunya jatuh cinta lagi, sehingga dia bisa meniru.  Artinya, alasan ibunya untuk menunda demi anak-anak malahan tidak baik, anak-anaknya lebih ingin ibunya bahagia.

Seorang teman lainnya, memilih meninggalkan keluarganya karena merasa mempunyai hak untuk bahagia setelah selama perkawinan dia merasa tidak bahagia.  Dia juga merasa down karena masalah orang tuanya dan kondisi kesehatannya. Saya benar-benar terkejut, karena selama ini saya melihat hidupnya sangat sempurna.  Punya kedudukan tinggi di kantornya, pendidikannya juga tinggi, sudah S3 dan cukup mampu, terlihat dari asetnya yang cukup banyak.  Pilihan yang berani.  Walaupun beberapa teman menganggapnya salah, namun dia tetap pada pendiriannya.  Bahkan beberapa teman lainnya menganggap dia bodoh, kenapa mengorbankan kehidupannya sebelumnya yang terlihat sempurna.  Namun, dia sendiri punya alasan yang kuat mengapa dia melakukan itu.

Saya tidak mau menghakimi teman-teman saya itu, sebaliknya saya mencoba memahami mereka.  Semua pasti ada alasannya.  Everything comes for a reason. 

Kita tidak bisa memaksakan cara pandang kita, persepsi kita terhadap orang lain, terhadap teman-teman saya yang memilih jalan berbeda dari “mainstream”.  Saya sendiri pun sempat diingatkan teman-teman lain bahwa sebagai teman, seharusnya saya mengingatkan atau menyadarkan mereka, namun saya ragu, karena saya merasa tidak berhak mencampuri kehidupan teman-teman saya, apalagi saya merasa belum tentu saya lebih baik dari mereka.

Menurut saya, mereka sangat berani menentukan jalan hidupnya sendiri.  Karena toh, kita sendiri yang menjalani hidup kita, bukan orang lain.  Bukan orang-orang yang mengomentari kita, yang menghakimi kita, namun diri kita sendiri.  Ibaratnya pertandingan sepak bola, orang lain hanya penonton, hanya komentator, sementara, kita sendiri yang bertanding di lapangan. Ya, ibaratnya sebuah sinetron, orang lain hanya penonton, bukan pemeran utama, kita lah pemeran utamanya.

Happiness is a choice and you can’t please everybody.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gembolan

Frankly Speaking

On your mark, get set...