Miss Move on

Sahabat saya bilang, saya miss move on, karena dia menilai saya orang yang gampang sekali move on dari situasi sulit, sesulit apa pun.  Namun sebenarnya, saya tidak semudah itu berpaling, melupakan sesuatu dan melanjutkan perjalanan tanpa berpaling.

Ya, memang di beberapa kesempatan, saya berhasil move on, setidaknya di mata orang-orang, saya move on.  Orang kan tidak melihat isi hati saya.

Saya bisa move on ketika ditinggal suami saya.  Itu pun karena situasinya memang tidak memungkinkan bagi saya untuk sedih berlama-lama.  Saya move on karena tidak ada pilihan lain.  Bayangkan, kami terpisah state, kemudian terpisah lautan, bahkan terakhir terpisah negara.  Mau tidak mau, saya move on lah.

Malah setelah bertahun-tahun, kalau suami saya merasa cemburu pada mantan saya, saya bilang, saya sudah move on, ga akan kembali ke mantan, mending cari yang baru daripada balik ke mantan, karena sudah tau semuanya dan sudah ada luka di hati. Saya tidak suka CLBK.  Hehe.

Ketika saya harus menghadapi kasus hukum ortu saya, saya move on dari hal-hal yang saya anggap kurang baik, it doesn’t feel right, it doesn’t seem right, sehingga saya bisa fokus pada permasalahan hukum saya.

Ketika saya diberhentikan dari pekerjaan saya, saya ga bisa move on.  Masih saja ikut dengan teman-teman dan klien-klien masih banyak yang menganggap saya masih bekerja di sana.  Juga saya pernah membantu teman dengan mengadakan meeting dengan beberapa pihak di perusahaan.  Seorang sahabat saya mengingatkan, jangan post power syndrome.  Saya terpana, ya saya harus move on.  Sejak itu, saya benar-benar berusaha tidak memberi komentar apa pun bila teman-teman sekantor dulu berkeluh kesah atau curhat.  Walaupun sampai sekarang saya belum seratus persen move on, apalagi karena saya masih membutuhkan teman-teman sekantor itu untuk membantu kasus saya, namun saya sudah bisa memilah-milah, mana hal-hal yang perlu saya terlibat, dan mana yang saya harus cuek.

Ketika lawan politik saya mengirimkan perwakilan untuk menemui saya, dan meminta waktu untuk bertemu saya dan keluarga dalam rangka memohon maaf pada saya dan keluarga, dengan gagah saya berkata, kalian sudah saya maafkan, saya sudah move on, jangan ganggu lagi hidup saya.

Namun sebenarnya, ada hal-hal yang masih mengganjal di hati saya, yang masih mengganggu pikiran saya.  Seperti ada unfinished business yang harus saya akhiri.  Saya merasa dan saya sadari, saya harus move on, tapi setiap saya menguatkan hati untuk move on, ada saja kejadian yang membuat saya bertahan di kondisi ini. Hal ini membuat saya galau, karena saya tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata, karena mungkin hanya saya yang dapat merasakan, hanya ada dalam hati saya, sehingga tidak bisa curhat pada siapa pun.

Padahal,  kata seorang sahabat saya, saya malah telah berhasil membuatnya move on.  Namun, kenapa saya malah tidak bisa move on?  Kenapa saya stuck di kondisi ini? Apa sih yang saya tunggu?  Apakah harus ada "a moment of truth" dulu, baru saya move on? Oh, saya benar-benar ingin move on….

Stop holding on to what hurts, and make room for what feel good…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gembolan

Frankly Speaking

On your mark, get set...