Sepatu
Saya tidak terlalu trendi, ga ngikutin mode juga. Namun, kebiasaan pakai sepatu saya memang
mempunyai sejarah panjang juga. Begitu
banyak cerita soal sepatu saya, mulai dari kecil sampai sekarang.
Waktu kecil, sepatu kami dipilihkan oleh ibu. Biasanya modelnya hampir sama dengan
kakak-kakak. Ibu punya langganan toko
sepatu, sehingga biasanya kami pergi ke sana untuk memesan sesuai selera
kami. Kami bertiga dulu sering
diseragamkan oleh ibu. Lucunya, setiap
Lebaran atau hari-hari tertentu, kami dibikinkan baju yang sama oleh nenek yang
kebetulan memang penjahit yang handal.
Nah, biasanya ibu menyesuaikan sepatu kami dengan warna baju. Yang paling saya ingat adalah sepatu kami
yang berwarna kuning, untuk melengkapi baju kami yang berwarna kuning.
Setelah masuk sekolah, ada aturan yang mengenai jenis dan
warna sepatu. Namun, biasanya kami akan
merengek-rengek kepada ayah untuk membeli merk tertentu, yang biasanya sedang
hits, dan dipakai oleh banyak teman.
Saya sendiri pernah sebal sama teman-teman yang mengomentari kebiasaan
kami, saya dan kakak-kakak, untuk saling bertukar sepatu. Emangnya kenapa?
Pada saat kuliah, saya lebih senang memakai sepatu tanpa
hak, karena harus banyak jalan, dari tempat kos ke kampus, maupun di dalam
kampus. Lagipula, saya memang tidak
cantik, jadi di kampus tidak jadi pusat perhatian, sehingga apapun yang saya
pakai tidak akan diperhatikan orang. Hal
ini membuat saya nyaman.
Setelah bekerja, saya sempat kena masalah kesehatan, yaitu
ada tumor di kaki, sehingga tidak bisa pakai sembarang sepatu. Waktu itu saya ingat, salah satu teman
perempuan bilang, karena kamu tidak pakai sepatu-sepatumu yang lama, boleh ga
sepatu-sepatumu yang bagus-bagus dan warna-warni itu untuk saya? Saat itu, saya baru menyadari, ternyata ada
yang memperhatikan sepatu saya. Saat itu
pula saya baru menyadari bahwa sepatu saya tergolong bagus menurut orang
sekitar saya, padahal saya orang yang sangat hemat, saya tidak pernah membeli
sepatu mahal.
Sejak ada masalah di kaki, saya hanya bisa pakai sepatu
sesuai anjuran dokter. Namun karena harganya cukup mahal untuk ukuran saya,
saya hanya punya 2 warna, hitam dan coklat.
Sejak itu, selera warna sepatu saya jadi berubah, hanya hitam dan
coklat. Sampai sekarangpun, warna sepatu
saya tidak berubah.
Saya sempat senang sekali memakai boots, saya merasa begitu
gagah memakainya. Apalagi saya bekerja
di bisnis yang begitu lekat dengan laki-laki, dunia laki-laki, jadi saya merasa
sejajar dengan memakai sepatu boots.
Namun, dengan semakin tingginya jabatan saya, karyawan perempuan ingin
saya menjadi “icon”, menunjukkan sisi feminin dunia bisnis ini. Jadi, saya pernah tersiksa dari pagi sampai
sore karena harus memakai pantofel high heels sebagai pembicara seminar. Saya juga pernah harus tampil bak Cinderella
pada acara kantor, hanya karena diminta mewakili kaum wanita di dunia
laki-laki. Saya juga pernah terpaksa
menenteng sepatu karena sangat sakit di kaki, begitu lepas dari pesta. Sialnya, ada anak buah saya yang memergoki
saya jalan nyeker sambil menenteng sepatu, untunglah, komentarnya: seperti film
Pretty Woman. Hehehe.
Terakhir saya memakai wedges, dan ternyata cukup nyaman di
kaki. Wedges ini diperkenalkan salah
seorang sahabat saya yang ingin sekali saya nampak feminin. Sejak itu, saya selalu pakai wedges, dan yang
saya pilih yang modelnya sederhana dan dari bahan yang tahan lama. Sempat saya mencoba wedges yang agak tinggi,
namun ternyata, saya terjatuh, sehingga saya pikir, bahwa tingginya hak harus
saya pertimbangkan.
Banyak yang menanyakan merk atau harga sepatu saya, ketika
saya bilang, saya sering membeli sepatu dalam diskon atau promosi buy 1 get 1,
banyak yang tidak percaya. Mungkin
karena posisi saya di perusahaan cukup tinggi, semua orang selalu menyangka
harga sepatu saya mahal.
Biarlah, orang boleh menilai, buat saya, yang penting fungsi
dari suatu barang, bukan harga, merk atau gengsinya. Buat apa menderita hanya untuk berpura-pura?
Pede aja lagi! Be yourself!
Thank you for all
girls who concerned about my appearance…
Komentar
Posting Komentar