Penglaris

Ibu bercerita, waktu masih kanak-kanak, setiap saya masuk ke suatu toko atau restoran, toko yang sepi pembeli jadi ramai oleh pengunjung, begitu pula restoran yang saya kunjungi biasanya jadi banyak yang ikut datang dan makan di situ.  Saya jadi geer banget, saya pikir saya penglaris.

Berbekal cerita ibu, saya sering iseng menerapkan ide penglaris itu.  Di beberapa kesempatan, memang berhasil dan tentunya, dengan mengklaim diri sebagai penglaris, biasanya saya dapat diskon yang lumayan dari pemilik toko.

Saya juga jadi sering tergerak untuk mendatangi toko-toko yang saya lihat memang sepi pengunjung.  Beberapa kali saya berhasil menarik pengunjung lainnya, walaupun belum tentu membeli, namun saya perhatikan, begitu saya masuk, biasanya ada orang lain yang ikut masuk.

Begitu pula dengan restoran.  Saya suka masuk ke restoran yang tidak ada pengunjungnya, beberapa kali memang saya berhasil menarik pengunjung lain untuk mampir dan makan di situ.

Namun, sering juga usaha saya itu tidak berhasil.  Tetap saja toko atau restoran itu sepi.  Bahkan ada restoran yang menurut saya cukup enak namun kurang diminati, akhirnya tutup. 

Lucunya, ketika itu menyangkut usaha pribadi saya sendiri, malah hal itu tidak berlaku.  Saya tidak pernah bisa jadi penglaris usaha saya sendiri. 

Sejak kecil, saya memang bercita-cita punya toko.  Alhasil, untuk mewujudkan cita-cita saya, saya pernah membuka toko pakaian di kota kecil, bersama dengan teman kuliah saya.  Namun, karena kami tidak pernah menengoknya, karena jauh sekali dari kota tempat tinggal saya, akhirnya saya tidak pernah tau nasib toko saya.  

Saya juga pernah buka toko dan kursus untuk anak-anak bersama dengan sahabat saya.  Begitu semangatnya kami, sampai  kami bahkan membagikan brosur sendiri di mal terdekat, walaupun kami juga menitipkan brosur di tukang Koran kompleks perumahan yang berada di sekitar toko kami.  Yang terjadi, pembeli yang datang bisa dihitung dengan jari.  Sementara untuk kursus, hanya ramai pada saat free trial!  Ketika kami kontak untuk tindak lanjut apakah akan mendaftar di kursus kami, tiada satu pun yang mendaftar.  Sampai akhirnya kami menyerah dan menutup toko dan tempat kursus kami. 

Ternyata, saya tidak bisa menjadi penglaris toko saya sendiri.  Haha.

Saya jadi mencoba menganalisa, artinya bukan karena faktor penglaris, namun memang mungkin toko atau restoran itu memang kurang diminati pembeli karena mungkin produknya kurang bagus, pelayanannya kurang baik atau memang penataannya kurang menarik.  Sedangkan untuk toko kami sendiri, mungkin memang lokasinya kurang baik atau produk yang kami jual memang kurang diminati orang sekitar.  Adapun kursus kami, mungkin memang saat itu kursus semacam itu belum menjadi kebutuhan utama untuk orang-orang sekitar. 

Ya sudahlah, mungkin saya sendiri memang tidak berbakat untuk berusaha di bidang ini, namun satu hal yang pasti, rejeki sudah diatur, walaupun uang modal kami membuka toko tidak kembali, kami tetap happy, tetap mendapat pelajaran berharga dari pengalaman membuka toko dan kursus ini.  Di masa yang akan datang, pasti kami akan lebih baik lagi mengelola usaha kami.  Dan, membuka toko tetap menjadi cita-cita saya dan kali ini saya mencobanya dengan sahabat yang lain. Mudah-mudahan kali ini berhasil. Tetap semangat!
 
Wish me luck…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gembolan

Frankly Speaking

On your mark, get set...