Playing God
Mengapa orang-orang ini berani sekali mempermainkan nasib
orang? Tidak kah mereka mempunyai hati
nurani?
Lihat saja ketika kasus seorang petinggi partai, atau kasus-kasus yang bermuatan politis lainnya. Belum lagi kasus titipan, yang sebenarnya hanya untuk menjatuhkan orang yang tidak disukainya. Sulit sekali dimengerti, apa yang ada di dalam hati dan pikiran para aparat, yang katanya “penegak hukum” ini. Apakah mereka bisa tidur nyenyak? Padahal ada adagium bahwa “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang benar”. Adagium ini mensyaratkan bahwa ketika satu orang benar atau tidak bersalah dijatuhi hukuman, maka runtuhlah hukum itu. Menghukum orang yang tidak bersalah adalah suatu kejahatan paling dikutuk dan tidak dapat dibenarkan sama sekali.
Dalam hidup, kita kadang-kadang dihadapkan pada situasi yang
sulit, dimana nasib kita ke depan ditentukan oleh orang lain. Saya dan orang-orang sekeliling saya
mempunyai pengalaman yang berbeda-beda, namun mempunyai kesamaan, yaitu terkait
masa depan.
Banyak orang yang merasa punya kekuasaan untuk menentukan
nasib orang lain, atau minimal memberikan “label” pada orang lain, seakan-akan
dirinya Tuhan. Ya, orang-orang semacam
ini kadang lupa bahwa mereka bukan Tuhan, bahwa mereka hanya lupa diri sesaat.
Contoh kecil yang pernah dialami kolega saya. Ketika dia mengikuti pemilihan ketua
asosiasi, tim sukses lawannya melancarkan kampanye: pilihlah ketua yang
amanah. Ketika sang teman menanyakan,
apakah dengan pernyataan itu berarti bahwa dirinya tidak amanah? Ketua tim sukses lawan bilang, kalau lo,
amanah kok. Saya sempat kaget mendengar
ceritanya. Dalam pikiran saya, amanah
atau tidaknya seseorang bukannya ditentukan oleh Tuhan? Kenapa orang itu memberi label “amanah”
kepada orang lain? Who do you think you are?
Yang paling menyesakkan dada adalah ketika “permainan” ini
melibatkan aparat penegak hukum.
Politik kantor saya sangat kejam. Banyak orang saling melaporkan ke aparat
penegak hukum. Seperti para selebritis
yang saling melapor ke polisi, sebagaimana saya sering melihatnya di media. Yang ada di kepala saya: sadarkah mereka,
bahwa mereka mempermainkan nasib orang?
Terpikirkan kah oleh mereka bahwa ini akan menyangkut nasib orang,
keluarganya atau anaknya?
Saya kagum sekali melihat teman-teman kantor saya, atasan
melaporkan bawahan, bawahan melaporkan atasan.
Sungguh hiruk pikuk. Bagaimana
bisa bekerja dengan tenang kalau nasib kita dipertaruhkan? Saya hanya bisa menonton, sudah sering saya
mengingatkan teman-teman, tapi sepertinya diabaikan saja. Saya sendiri tidak suka cara-cara seperti
ini, karena saya pernah jadi korban dan rasanya sungguh menyeramkan, hidup
rasanya penuh dengan ketakutan.
Ketika melihat para aparat penegak hukum, kembali saya
terkagum-kagum. Apakah mereka punya hati
nurani? Teman saya bercerita, mereka
kadang tidak bergeming sedikitpun ketika
orang yang sebenarnya tidak bersalah memohon-mohon. Mereka biasanya malah mencari-cari kesalahan
orang. Ibaratnya sopir bis kota, yang
kejar setoran, para aparat ini juga begitu, menjebak orang untuk mengejar
setoran, untuk mengklaimnya sebagai prestasi, dengan berbagai cara.
Lihat saja ketika kasus seorang petinggi partai, atau kasus-kasus yang bermuatan politis lainnya. Belum lagi kasus titipan, yang sebenarnya hanya untuk menjatuhkan orang yang tidak disukainya. Sulit sekali dimengerti, apa yang ada di dalam hati dan pikiran para aparat, yang katanya “penegak hukum” ini. Apakah mereka bisa tidur nyenyak? Padahal ada adagium bahwa “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang benar”. Adagium ini mensyaratkan bahwa ketika satu orang benar atau tidak bersalah dijatuhi hukuman, maka runtuhlah hukum itu. Menghukum orang yang tidak bersalah adalah suatu kejahatan paling dikutuk dan tidak dapat dibenarkan sama sekali.
Yang membuat lebih sedih lagi, cerita seorang teman, ketika
sudah menyangkut uang. Untuk memperoleh
keadilan, tidak ada yang gratis. Padahal
orang tidak bersalah, namun tetap saja dimintai uang. Sedihnya, ketika orang tersebut bilang tidak
punya uang, sang “penolong” dengan pandangan dingin berkata sambil berlalu,
nanti saja kita bicara. Artinya, tetap
saja, uang yang bicara. Ada uang, mari
bicara, tiada uang, tidak perlu kenal, apalagi bicara. Sungguh dilema, inginnya dinyatakan tidak
bersalah, karena memang tidak bersalah, tapi harus memberi uang, yang dalam
hati nurani justru ini merupakan perbuatan yang salah.
Sungguh dilematis hidup ini, hanya karena orang-orang yang
merasa menjadi “Tuhan”, mereka merasa berhak atas hidup seseorang, berhak
menentukan nasib orang, berhak menghancurkan cita-cita seseorang….
There is always a man
beyond the man; there is a sky above the sky.
Do they realize they are playing with someone’s future?
Komentar
Posting Komentar