Go to school!

Saya memang agak pemalas untuk pergi ke sekolah dibandingkan dengan kedua kakak perempuan saya.  Mereka memang gemar belajar, melakukan penelitian, menulis jurnal ilmiah, dll.  Sebaliknya, saya tidak ingin sekolah tinggi-tinggi.

Waktu lulus SMP dan ingin melanjutkan ke SMA, saya minta ke ayah untuk bersekolah di SMA yang berbeda dengan kakak-kakak saya, karena saya merasa tidak bebas bila harus di sekolah yang sama.  Saya memilih sekolah yang lebih “hura-hura” dibandingkan sekolah kakak.  Namun, ayah tidak mengijinkan dengan alasan efisiensi untuk antar jemputnya.

Selepas SMA, saya bilang pada Ayah bahwa saya hanya ingin kursus-kursus saja, biar cepat bekerja.  Bahkan, saya punya ide untuk segera menikah saja!  Para tante saya pun dengan semangatnya mengenalkan saya kepada para calon suami yang mereka anggap cocok untuk saya.  Saya ingat, setiap ada calon yang akan dikenalkan kepada saya, kakak saya berkomentar yang akhirnya membuat saya membatalkan pertemuan.  Saya ingat, dua orang yang ingin dikenalkan pada saya oleh tante yang berbeda adalah dosen PTN, namun PTN yang berbeda.  Kedua tante selalu mempromosikan calonnya dengan menggambarkan bahwa calonnya lah yang terbaik, lulusan sekolah terbaik, yang satu sudah S2 yang satunya bahkan sudah S3.  Juga, promosinya adalah calonnya tidak playboy, tidak pernah pacaran, dll.  Namun di masing-masing kesempatan kakak saya dengan sinis berkata, kok sampai seumur segitu ga pernah pacaran?  Jangan-jangan ada kelainan!  Nah, saya pun menjadi takut dan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan sekolah.

Ketika saya sedang memilih-milih akan sekolah dimana, datanglah seorang paman yang cukup dekat dengan kami bertiga, saya dan kedua kakak perempuan saya.  Sang paman kebetulan berprofesi sebagai konsulat dan saat itu bertugas di luar negeri.  Paman bilang, bahwa saya paling bodoh dibandingkan kedua kakak saya, jadi akan sulit mendapatkan PTN.  Jadi, menurut paman, daripada saya memberatkan ayah dengan bersekolah di PTS, sebaiknya saya ikut dirinya bersekolah di luar negeri.  Sungguh panas hati saya mendengarnya.  Saya ajak paman bertaruh, bahwa saya bisa diterima di PTN terbaik di negeri ini.  Saya pun membuktikan, bahwa saya diterima di PTN terbaik.  Namun, ketika saya tidak mau mengambil pilihan itu, ibu memaksa saya mengambilnya, walaupun saat itu saya minta bantuan ayah agar diperbolehkan mengambil sekolah D3 saja.  Akhirnya, saya terpaksa bersekolah di PTN terbaik itu.

Perjalanan kuliah saya di PTN terbaik itu tentulah tidak lancar, sebagaimana yang saya perkirakan dari awal.  Saya benar-benar menderita, karena saya memang tidak ingin sekolah di sana.  Setelah menjalani satu tahun perkuliahan, ibu mulai tidak tega dan mengizinkan saya untuk mencari sekolah lainnya.  Namun kali ini, yang tidak saya sangka-sangka, ayah marah dan meminta saya untuk melanjutkan sekolah di sana.  Saya ingat, ayah bilang, ayah sudah keluar banyak uang untuk biaya sekolah saya.  Dan yang paling menyakitkan hati saya, ayah bilang, ayah tidak akan kecewa kalau saya hanya mampu mencapai jenjang sarjana muda.   

Betapa panasnya hati saya dilecehkan seperti itu.  Masak ayah memandang sebelah mata pada saya?  Masak ayah menganggap saya tidak mampu jadi sarjana?  Dengan hati panas, saya menyelesaikan kuliah saya dalam 4 tahun, walaupun nilai pas-pasan, namun cukup menimbulkan decak kagum orang sekitar.

Lulus dari PTN saya sudah terengah-engah dan memutuskan, cukup sudah, ini sudah jenjang pendidikan tertinggi yang dapat saya capai.  Toh sebenarnya, ini sudah lebih tinggi dari cita-cita saya.

Namun, kembali tantangan untuk bersekolah menghantui saya.  Calon mertua saya bilang, kalau saya ingin menikah dengan anaknya, saya harus mempunyai level pendidikan yang sama, dan syaratnya, harus bersekolah di negara yang sama, sehingga nantinya nyambung kalau diskusi.  Kembali, saya galau, karena saya tau, ayah tidak punya uang untuk menyekolahkan kami ke jenjang yang lebih tinggi, apalagi di luar negeri.  Kakak-kakak saya mengambil S2 dengan mencari bea siswa.  Bagaimana mungkin, saya yang nilainya pas-pasan bisa dapat beasiswa?  Dengan segala upaya, ahirnya saya berhasil mendapatkan beasiswa dan dapat bersekolah di luar negeri.

Di semester terakhir sekolah saya, malapetaka itu terjadi, saya bercerai dengan suami saya, sehingga hilanglah semangat belajar saya.  Toh saya mengambil master hanya karena disyaratkan oleh mertua saya.  Artinya, dengan perceraian saya itu, saya tidak punya alasan untuk sekolah. 

Nah, di sinilah ayah kembali berperan.  Ayah menelpon dan berkata, lebih baik kamu pulang tanpa gelarmu, daripada kamu tetap di sana dan menjadi gila karena patah hati.  Betapa marahnya saya mendengar perkataan ayah.  Saya bilang pada ayah, tidak ayah, akan saya buktikan bahwa saya akan mendapatkan gelar saya.  Saya bilang pada beliau, saya tidak mau pulang sebagai pecundang, sudah perkawinan saya gagal, masak sekolah saya juga gagal?  Dengan tekad seperti itu, saya pun akhirnya pulang membawa gelar.

Saya pikir, ayah ternyata sangat tahu bagaimana mengkondisikan agar saya mau bersekolah.  Ayah memilih jalan “menghina” saya, supaya saya panas dan tertantang untuk sekolah.  Sungguh saya bersyukur, karena akhirnya saya bisa bersekolah lumayan tinggi, walaupun tidak setinggi kakak-kakak saya.

Saya pun teringat salah seorang teman saya ketika berkuliah di luar negeri berkata:”I won’t be surprised if I meet you sometime in the future and you have a Ph.D.”

Ya, memang aneh sekali perjalanan sekolah saya, saya selalu terpaksa bersekolah, saya selalu bersekolah karena alasan-alasan yang aneh, bukan karena kemauan saya sendiri.  Tapi ternyata, saya tidak pernah menyesal atas perjalanan sekolah saya ini, karena saya mendapatkan banyak pelajaran berharga dari semua pengalaman saya bersekolah itu.

Sekarang pun saya giat menyuruh anak saya: Go to school!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gembolan

Frankly Speaking

On your mark, get set...