In memory of my Dad: Just give me a call
Ayah sangat menghayati perannya sebagai bapak dari 3 anak
perempuan. Artinya, apabila anak
perempuannya ada kesulitan, Ayah harus selalu siap membantu. Just give me a call, kata Ayah.
Rest in peace Dad, I
know you will take care of me forever…..
Yang paling sering Ayah harus tangani adalah masalah mobil
mogok atau tabrakan. Ayah memang
mengajari kami mandiri, salah satunya, kami bertiga harus bisa menyetir
mobil. Bahkan sempat dipersyaratkan untuk
kursus montir dulu. Namun, ketika kami
mendatangi tempat kursus montir mobil, Ayah langsung mengurungkan niatnya. Masak, ketiga anak gadisnya harus kursus
bareng para montir? Ayah ga rela….
Pengalaman Ayah terkait mobil ini cukup banyak. Waktu kakak sulung mogok, dia tinggal telpon Ayah, mobil dititipkan di toko terdekat, dan dia pun pulang naik taxi. Ayah yang datang mengambil mobilnya. Begitu juga ketika kakak sulung tabrakan, Ayah datang. Ketika mobil pacar saya mogok pun, Ayah yang datang, sementara saya tidur di rumah. Ketika saya dan kakak kedua mobilnya mogok di Bogor pun, kami menelpon Ayah, bukannya suami kakak. Begitu terbiasanya kami dengan pertolongan Ayah, sehingga selalu yang terlintas di pikiran adalah menelepon Ayah, bukan suami, bukan pacar, apalagi bengkel. Hehehe.
Saya sendiri punya pengalaman unik terkait tabrakan. Saya menabrak motor tentara di ujung jalan masuk ke rumah kami. Uang saya di dompet hanya tinggal sepuluh ribu, tepatnya dua lembar lima ribuan. Ketika saya menepi, sang tentara saya ajak untuk ke rumah saja dan menemui Ayah untuk urusan penggantian. Namun, tukang ojek yang mangkal di ujung jalan malah bilang, Ayahnya jenderal. Maka, sang tentara sangat takut dan minta saya bayar seadanya. Saya tunjukkan dompet saya, sembari memberikan Rp. 5.000,- dengan alasan, saya harus tetap punya pegangan untuk sampai di rumah. Saya coba menawar, hehehe. Sang tentara marah dan merampas dompet saya dan mengambil semua uang saya. Ketika saya sampai di rumah, saya segera lapor Ayah, dan Ayah segera memeriksa kerusakan mobil dan malahan berkata, kasian tentara itu, kalo saja dia datang ke sini, akan Ayah kasih uang lebih banyak.
Ga tahu kenapa, kalau ada masalah di rumah pun, saya lebih
cepat menekan nomor Ayah, secara otomatis menelepon Ayah untuk urusan air
ledeng, pompa, listrik, dll. Ayah
paling-paling mengomel, mana suamimu, namun Ayah tetap meladeni kami. Mungkin begitu melekatnya di kepala, begitu
hafal di luar kepala nomor Ayah, sehingga nomor pertama yang saya hubungi
adalah nomor Ayah. Bahkan saat Ayah
sedang menunaikan ibadah haji pun, jari-jari saya kadang-kadang otomatis
memencet nomor Ayah.
Waktu saya ingin sekali berkurban sapi tapi terasa mahal, kembali saya minta tolong Ayah. Saya beli sapi tepat setelah Idul Adha berakhir, sehingga harganya murah. Saya minta tolong Ayah memeliharanya sampai Idul Adha berikutnya. Saya sempat tergoda ketika mendekati Idul Adha, sapi saya ditawar orang dengan harga hampir 3 kali lipat dari harga ketika saya membelinya. Tentu saja Ayah ngomel, sudah susah payah memeliharanya, masak mau dijual. Dan ketika saya dan tante melihat ini sebagai peluang, yaitu menggemukkan sapi di tempat Ayah, Ayah menolak keras. Cukup, katanya. Hahaha.
Itulah Ayah, dari urusan kecil sampai urusan besar, selalu menjadi tempat kami meminta pertolongan. Just give him a call, tinggal telepon Ayah dan Ayah akan membantu.
Dan saat-saat seperti ini, ketika saya merasa terlalu banyak permasalahan dalam hidup saya, dimana saya merasa berada di titik terendah dalam hidup saya, saya berharap dapat menelpon Ayah dan berkata: Ayah, tolong saya…..
Pengalaman Ayah terkait mobil ini cukup banyak. Waktu kakak sulung mogok, dia tinggal telpon Ayah, mobil dititipkan di toko terdekat, dan dia pun pulang naik taxi. Ayah yang datang mengambil mobilnya. Begitu juga ketika kakak sulung tabrakan, Ayah datang. Ketika mobil pacar saya mogok pun, Ayah yang datang, sementara saya tidur di rumah. Ketika saya dan kakak kedua mobilnya mogok di Bogor pun, kami menelpon Ayah, bukannya suami kakak. Begitu terbiasanya kami dengan pertolongan Ayah, sehingga selalu yang terlintas di pikiran adalah menelepon Ayah, bukan suami, bukan pacar, apalagi bengkel. Hehehe.
Saya sendiri punya pengalaman unik terkait tabrakan. Saya menabrak motor tentara di ujung jalan masuk ke rumah kami. Uang saya di dompet hanya tinggal sepuluh ribu, tepatnya dua lembar lima ribuan. Ketika saya menepi, sang tentara saya ajak untuk ke rumah saja dan menemui Ayah untuk urusan penggantian. Namun, tukang ojek yang mangkal di ujung jalan malah bilang, Ayahnya jenderal. Maka, sang tentara sangat takut dan minta saya bayar seadanya. Saya tunjukkan dompet saya, sembari memberikan Rp. 5.000,- dengan alasan, saya harus tetap punya pegangan untuk sampai di rumah. Saya coba menawar, hehehe. Sang tentara marah dan merampas dompet saya dan mengambil semua uang saya. Ketika saya sampai di rumah, saya segera lapor Ayah, dan Ayah segera memeriksa kerusakan mobil dan malahan berkata, kasian tentara itu, kalo saja dia datang ke sini, akan Ayah kasih uang lebih banyak.
Bahkan Ayah juga menolong teman-teman kuliah saya yang
kesasar di Jakarta, di tengah malam dan terlantar, karena tidak tahu mau
menginap dimana. Mereka menelepon ke
rumah saya, karena saya sudah tidur, Ayah yang menerima dan akhirnya Ayah yang
menjemput mereka dan mengajak mereka menginap di rumah. Sementara saya tidur dan esok paginya kembali
ke Bandung, teman-teman saya diurus Ayah.
Waktu saya belum punya pekerjaan, Ayah selalu kasih uang
saku. Yang terharu, begitu saya pulang
dari sekolah di Amerika dan belum punya pekerjaan, kembali Ayah memberikan saya
uang saku, kata Ayah, sampai saya dapat pekerjaan lagi. Waktu itu, kacamata saya rusak, seperti
biasa, minta tolong dulu sama Ayah untuk dibelikan.
Ayah juga sangat helpful bila anak-anaknya sedang hamil dan
ngidam makanan tertentu. Ayah akan dengan
sigap mencarikan makanan tersebut.
Karena, Ayah memang senang sekali jajan makanan. Jadi, Ayah malah sering menanyakan kepada
kami, apakah ngidam makanan tertentu, Ayah akan carikan.
Waktu saya ingin sekali berkurban sapi tapi terasa mahal, kembali saya minta tolong Ayah. Saya beli sapi tepat setelah Idul Adha berakhir, sehingga harganya murah. Saya minta tolong Ayah memeliharanya sampai Idul Adha berikutnya. Saya sempat tergoda ketika mendekati Idul Adha, sapi saya ditawar orang dengan harga hampir 3 kali lipat dari harga ketika saya membelinya. Tentu saja Ayah ngomel, sudah susah payah memeliharanya, masak mau dijual. Dan ketika saya dan tante melihat ini sebagai peluang, yaitu menggemukkan sapi di tempat Ayah, Ayah menolak keras. Cukup, katanya. Hahaha.
Itulah Ayah, dari urusan kecil sampai urusan besar, selalu menjadi tempat kami meminta pertolongan. Just give him a call, tinggal telepon Ayah dan Ayah akan membantu.
Dan saat-saat seperti ini, ketika saya merasa terlalu banyak permasalahan dalam hidup saya, dimana saya merasa berada di titik terendah dalam hidup saya, saya berharap dapat menelpon Ayah dan berkata: Ayah, tolong saya…..
Komentar
Posting Komentar