Adik, doamu paling didengar…..


Ketika dokter ahli Radiologi menyatakan bahwa bayi dalam kandungan saya adalah laki-laki, betapa kecewanya hati saya.  Saya sempat menangis dalam perjalanan pulang.  Ya, saya sangat mendambakan anak perempuan, karena anak pertama saya laki-laki.  Demi mendapatkan anak perempuan, saya mengambil risiko untuk hamil di usia yang sudah cukup tua.  Namun, ternyata, Tuhan belum mengabulkan doa saya.

Ketika bayi ini lahir, ternyata dia sangat lucu dan itu cukup menghapuskan kekecewaan saya.  Bayi itu saya sebut Adik.

Ketika kecil, Adik terlihat jauh lebih mandiri dari kakaknya.  Namun begitu masuk sekolah, terlihat Adik mulai tidak nyaman, sehingga sering membolos saat KB dan TK.  Saya masih tetap berpikir positif, bahwa Adik hanya malas saja, karena berbeda dengan kakaknya, Adik senang belajar menulis sendiri, begitu juga membaca.  Namun, tulisan Adik tidak bagus, karena pada saat belajar menulis tidak mengikuti cara-cara menulis yang benar.  Adik hanya meniru bentuk huruf.  Adik sangat keras kepala, sehingga sulit diajarkan cara menulis yang benar.

Adik juga terlambat bicara, sehingga harus saya terapi wicara.  Saya tidak terlalu khawatir dengan masalah telat bicara ini, karena saya sendiri termasuk bayi yang telat bicara.  Begitu juga kakaknya dan para sepupunya.

Di sisi lain, Adik diyakini banyak orang adalah anak yang membawa rejeki pada saya.  Beberapa orang mengatakan seperti itu, terutama karena tanda lahir Adik terletak di punggung, yang diartikan banyak orang sebagai penanggung keluarga.  Memang pernah terjadi, ketika kami sedang berobat ke klinik, seorang kakek keturunan Cina langsung memeluk Adik dan memanggil saya.  Dia pegang kaki Adik dan dia berkata: ibu, anak ibu ini pembawa rejeki buat ibu.  Saya tidak terlalu ambil pusing, namun memang, sejak kelahiran Adik, karir saya terus menanjak, yang tentunya berpengaruh kepada penghasilan saya.

Adik juga pernah disangka sebagai anak indigo oleh teman-teman sekantor saya.  Karena Adik sering menggambar monster di papan tulis kantor.  Adik menggambar dengan cepat, tanpa berpikir.  Namun, karena kesukaan Adik menggambar monster ini lah yang membuat saya menjadi takut dan berniat untuk berkonsultasi dengan psikolog.

Kesempatan itu tiba ketika Adik akan masuk SD, dimana disyaratkan untuk psikotes, dan inilah awal semuanya.  Adik ternyata didiagnosa mempunyai kebutuhan khusus.  Betapa sedihnya saya.  Tadinya saya berharap Adik akan jadi anak normal, lebih baik dari kakaknya.  Namun apa daya, ternyata Tuhan menentukan lain.

Sejak saat itu, saya mendaftarkan Adik untuk terapi, sesuai anjuran psikolog.  Di tempat terapi, saya disadarkan oleh Tuhan, bahwa saya masih lebih beruntung karena banyak orang tua lainnya yang harus berupaya lebih keras agar anaknya bisa hidup normal.  Di tempat terapi tersebut , saya bertemu banyak ibu yang kuat, yang lebih dipercaya oleh Tuhan, yang diberi amanah untuk mendidik anak-anak istimewa, anak-anak berkebutuhan khusus, special needs children.

Saya belajar banyak dari para ibu tersebut.  Perjuangan mereka untuk mendapatkan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya patut diberi acungan jempol.  Mereka pun masih bisa tertawa, juga bercerita dengan bangga tentang anak-anaknya.  Tuhan, terima kasih telah membukakan mata saya.

Perjuangan Adik di SD juga tidak mudah.  Di kelas 1 saya sempat berselisih pendapat dengan wali kelasnya, karena sang wali kelas mengatakan bahwa Adik tidak akan naik kelas supaya bisa mengikuti pelajaran.  Alasannya sangat sepele, karena Adik kerap tidak mau mengerjakan ulangan, sehingga ibu guru harus menunggui setelah jam pelajaran usai.  Saya menolak, buat saya, Adik seumur hidup akan punya “label” tidak naik kelas di kelas 1.  Kasihan Adik, sepanjang hidupnya akan memakai label itu.  Saya sempat mencari alternatif sekolah untuk Adik, sampai akhirnya pihak sekolah mengalah.  Kepala Sekolah memberi jalan keluar, bahwa Adik boleh didampingi “shadow teacher” yang saya gaji sendiri.

Saya berhasil mendapatkan “shadow teacher” yang cocok untuk Adik, dan akhirnya Adik didampingi sampai kelas 3 dan pada semester 2 di kelas 3 itu, Adik sudah bisa mandiri.  Saya beruntung mendapatkan shadow teacher yang cocok dan kami pun terus menjalin silaturahmi walaupun Adik sudah tidak membutuhkan pendamping lagi.  Bahkan, saya dapat menitipkan Adik kepada sang pendamping apabila saya berhalangan mendampingi Adik dalam acara sekolah.

Adik juga cukup perfeksionis dan cenderung cerewet.  Apabila saya memarahi kakaknya, maka hal itu akan membekas di ingatan Adik.  Sehingga Adik yang akan mengawasi kakaknya dan memarahi kakaknya, persis seperti saat saya memarahi kakaknya.  Adik juga sangat patuh pada jam, artinya apabila diberi waktu sekian jam, maka pada saatnya Adik akan berhenti.  Bahkan ketika akan dilakukan psikotes untuk kesekian kalinya, Adik bertanya kepada ibu psikolog, berapa lama tes akan berlangsung.  Ketika sudah berlangsung selama waktu yang ditentukan, Adik berhenti mengerjakan tes nya, tidak peduli apakah sudah selesai atau belum.

Banyak pihak yang mengkritisi saya karena dinilai terlalu memanjakan Adik.  Namun saya mempunyai alasan tersendiri.  Saya amati, Adik tidak bisa dikasari, karena itu justru akan memicu emosinya.  Sehingga dalam menangani Adik, saya harus selalu berkepala dingin, tidak boleh terpancing emosi, nada suara tidak boleh tinggi, sehingga bisa tetap tenang menghadapi segala tingkah lakunya.  Sebaliknya, saya memang gemar memberikan Adik hadiah, sebagai penghargaan atas apa yang telah dicapainya.  Hal-hal kecil yang mungkin tidak dianggap sebagai suatu prestasi pada anak lain, namun bagi Adik, itu merupakan prestasi tersendiri.  Saya juga membebaskan Adik memilih aktivitasnya.  Adik memilih les musik, renang, Kumon, futsal dan robotic.  Semuanya saya turuti.  Begitu pula ketika Adik memutuskan untuk berhenti les, saya juga membebaskannya, karena saya ingin Adik punya aktivitas yang dia sukai, sehingga dapat menyalurkan emosinya.

Sampai Adik kelas 3 SD saya masih minta untuk memandikannya setiap pagi.  Di sela-sela kehebohan persiapan saya pergi bekerja, saya menyempatkan diri untuk memandikannya.  Karena saya ingat akan kata-kata gurunya, semoga setiap guyuran air yang saya lakukan menjadi doa bagi Adik.  Ya, saya selalu berdoa untuk Adik di setiap guyuran air.  Karena sejak kecil, setiap mengguyurkan air, saya diminta menghitung tiap guyuran dilengkapi dengan tangga nada.  Jadi memandikan Adik merupakan kesenangan tersendiri bagi kami berdua, sekalian sarana untuk belajar dan tentunya sarana untuk berdoa.

Banyak kejadian mengharukan, yang menguras air mata saya dan orang-orang sekeliling.  Ketika saya sempat diusir dari rumah oleh suami saya, Adik menangis diam-diam, namun tetap terlihat tegar di depan saya.  Dan yang sangat mengharukan adalah ketika Adik minta kami berfoto selfie untuk kenang-kenangan.  Tidak ada derai air mata di sana, kami bertiga, saya, Adik dan kakaknya, berfoto bersama dengan tersenyum.  Sungguh, setiap mengingat kejadian itu, atau melihat foto itu, saya menangis.

Kejadian lainnya yang menguras air mata adalah ketika Adik mogok latihan menari untuk Pentas Seni di sekolahnya.  Ketika Adik mengetahui bahwa saya tidak mungkin menghadiri Pentas Seni, karena harinya bertepatan dengan hari persidangan saya, maka Adik bilang ke gurunya, tidak akan ikut Pensi karena percuma saja, ibunya tidak akan bisa melihat dia menari.  Ketika terus dibujuk, Adik berkata kepada gurunya, bahwa ibunya akan dipenjara apabila menghadiri Pensi dan tidak datang ke pengadilan.  Betapa hebohnya keadaan di sekolah ketika mendengar berita itu.  Bahkan ibu Kepala Sekolah langsung mengontak saya di kantor, dan meminta saya datang ke sekolah.

Perasaan saya tidak enak mendengar berita adanya panggilan Kepala Sekolah.  Ternyata, dugaan saya benar, Adik mogok latihan Pensi.  Ketika ibu Kepala Sekolah meminta klarifikasi saya terhadap ucapan Adik, maka bertangisanlah kami semua, saya, ibu Kepala Sekolah dan beberapa guru.  Ibu Kepala Sekolah bercerita, Adik sempat melakukan negosiasi kepada ibu Kepsek, supaya Pensinya dibuat hari Sabtu, seperti tahun sebelumnya, supaya ibunya bisa hadir.  Ibu Kepala Sekolah saat itu hanya termangu, tidak bisa berkata apa pun.  Jadi lah Adik mendapatkan dispensasi untuk tidak masuk sekolah , sehingga Adik tidak perlu bersedih apabila melihat teman-temannya berlatih menari.  Bahkan, saya mendapatkan dispensasi untuk mengambil rapor lebih dulu dari jadwal, karena jadwal pengambilan rapor bertepatan dengan jadwal persidangan saya.

Yang juga mengganggu pikiran saya selama beberapa hari adalah ketika Adik mengikuti lomba robot.  Adik yang kesulitan dalam motorik halusnya ternyata bisa membuat truk dan ketika diuji coba, larinya paling cepat.  Namun, karena Adik kurang bisa menempelkan balok-baloknya, ada yang tercopot dan truknya hancur, sehingga ketika akan mengambil skor, truk Adik dalam keadaan hancur.  Saya tidak tega melihat betapa hancurnya hati Adik, karena pada saat uji coba, Adik melompat-lompat kegirangan melihat truknya bisa berjalan kencang, namun ketika tiba saat pengambilan skor, malah truknya hancur.  Saya benar-benar “speechless”.  Yang ada di kepala saya hanya satu, saya harus menghibur dirinya.  Saya juga menyesal, karena saya tidak memberi tahu Adik bahwa perlombaan belum selesai, sehingga seharusnya Adik masih bisa memperbaiki truknya.  Karena memang salah satu kekurangan Adik adalah kurang dapat mengerti instruksi.  Seharusnya saya lebih berinisiatif untuk menanyakan instruksinya ke panitia lomba, sehingga bisa menyampaikan kepada Adik dengan bahasa yang sederhana.  Namun, semuanya sudah terlambat, saya hanya bisa mengajak Adik pergi meninggalkan arena lomba, agar Adik tidak menangis sedih karena tidak mendapat skor.

Malamnya, pada saat menjelang tidur, Adik mengatakan hal yang sangat mengganggu pikiran saya.  Adik berkata, ayo kita cari mesin waktu supaya kembali ke waktu sebelum lomba, supaya Adik bisa buat truk dan menang di lomba.  Supaya Mama juga bisa kasih tau Adik bahwa lomba belum selesai.

Kata-kata itu sungguh menyayat hati, saya tidak bisa tidur selama beberapa hari karena kata-katanya.  Saya berjanji, akan memberikan kesempatan lagi kepada Adik untuk mengikuti lomba tersebut.

Sampai Adik kelas 3 SD, saya masih tidak bisa menerima  atau terus melakukan penolakan, denial, bahwa Adik menderita penyakit Attention Deficit Disorder (ADD) atau Attention Deficit Hiperaktif Disorder (ADHD), saya selalu berkata, Adik hanya tidak bisa fokus,  tidak bisa konsentrasi dan tidak bisa multitasking.  Namun kembali, Tuhan membukakan mata saya, bahwa Adik memang menderita penyakit itu.  Suatu saat saya berkenalan dengan ibu-ibu jet set yang mengelola sebuah yayasan untuk anak-anak.  Mereka sangat kaya, namun dengan tenang bercerita bahwa ketiga anak laki-laki nya berkebutuhan khusus, 2 orang menderita ADD dan seorang ADHD.  Ibu yang lainnya bercerita, anak laki-laki nya pun menderita ADD.  Dengan tenang mereka bercerita, bahwa anaknya yang besar sudah berkeluarga dan akan berangkat ke Eropa untuk mengambil Master Degree, sementara anak kedua nya mendapat pekerjaan di hotel di luar negeri.  Saya sangat terpana, ternyata mereka semua bisa hidup normal pada saat dewasa.  Sekali lagi saya berterima kasih pada Tuhan, diperkenalkan kepada ibu-ibu yang punya pengalaman yang sama, dan saya tidak perlu rendah diri karena mempunyai anak yang menderita ADD atau ADHD.  Birds of a feather flock together…..

Dan, di atas segalanya, akhirnya Tuhan memberikan jawaban kepada saya, kenapa saya mendapatkan Adik.  Di saat saya dirundung masalah berat, yaitu saya disangkakan melakukan korupsi bersama beberapa kolega saya, di saat itu lah saya mendapatkan jawaban mengapa saya diberikan seorang anak berkebutuhan khusus. 

Saat itu seperti mimpi buruk bagi saya.  Kami berempat diperiksa dari pagi sampai sore, ketika sore tiba, kami dipisahkan, 3 orang lelaki kolega saya dibawa, sementara saya disuruh menunggu.  Saya tidak bisa menangis lagi, hanya bisa berdoa.  Dan akhirnya doa saya terjawab, saya boleh pulang, dengan alasan karena saya mempunyai anak berkebutuhan khusus yang memerlukan ibunya.   Ya, karena Adik, saya bisa tetap berada di luar….

Ketika saya pulang, Adik sangat senang dan berkata, Adik mendoakan Mama.  Saya menjawab penuh keharuan, ya Adik, doamu paling didengar oleh Tuhan.

Terima kasih Tuhan, telah memberikan Adik untuk saya.  Dan Adik, saya tidak pernah berhenti bersyukur karena mendapatkan mu Nak.


Keep praying my boy…. Maybe God will answer your pray.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gembolan

Frankly Speaking

On your mark, get set...