Oshin
Setiap bulan Ramadhan, menjelang Lebaran, tokoh Oshin, anak perempuan Jepang yang dari kecil bekerja keras di film serial TV jaman dulu, sering disebut-sebut. Nama Oshin digunakan banyak orang untuk menggambarkan ibu-ibu yang harus turun tangan mengurus rumah tangga karena para asisten rumah tangga pulang kampung.
Saya sendiri mempunyai banyak pengalaman menjadi Oshin,
mulai dari tinggal di rumah ayah sampai sekarang, menjadi ibu rumah tangga.

Sebagai anak laki-laki tertua dari anak lelaki tertua di
keluarganya, ayah banyak didatangi kerabatnya pada saat Lebaran. Apalagi ketika Nenek memilih tinggal bersama
kami. Setiap Lebaran, kami tidak bisa
menikmatinya, karena sibuk mencuci gelas, piring, dll.
Untungnya, hal itu tidak berlangsung lama, setelah semakin
dewasa, saat Lebaran, ada saja pembantu yang mau tetap tinggal di rumah kami
untuk membantu kami, tentunya dengan imbalan tambahan.
Setelah tinggal terpisah dengan ayah, berbagai pengalaman
terkait Oshin silih berganti. Saya
sempat hanya berdua dengan anak pertama saya yang masih bayi, sehingga, sang
bayi kemana-mana saya bawa dan sampai pernah tertidur di kereta bayi saat saya
mencuci baju. Namun saat itu, di
tengah-tengah kesibukan menjadi Oshin, saya mendapatkan kabar baik dari kantor
saya, bahwa saya mendapatkan bonus yang cukup besar, bahkan dengan
tergopoh-gopoh saya terpaksa ke ATM membawa bayi saya, hanya karena boss saya
ingin memastikan bahwa bonus saya sudah masuk ke rekening saya. Saat itu, walaupun dalam posisi letih karena
menjadi Oshin, saya sangat terkejut melihat saldo rekening saya. Ternyata, saya mendapatkan bonus tertinggi di
antara seluruh karyawan di perusahaan. Alhamdulillah, di tengah kegalauan
menjadi Oshin, saya mendapatkan rezeki yang berlimpah.
Tahun-tahun berikutnya, saya tidak
pernah menjadi Oshin lagi, karena tinggal bersama mertua. Mertua saya mempunyai asisten rumah tangga
yang hanya libur pada hari pertama Lebaran.
Selama bertahun-tahun, hanya pada hari pertama Lebaran si bibi mengambil
libur. Ketika mertua saya meninggal si
bibi dititipkan kepada saya, agar terus dipekerjakan. Saya memegang teguh janji itu, sampai akhir
hayatnya, si bibi bekerja di tempat saya, walaupun di hari-hari terakhirnya
bibi sudah tidak sanggup datang ke rumah, saya tetap menggajinya sampai bibi
meninggal.
Kalau bicara soal asisten rumah tangga, saya termasuk orang
yang beruntung. Saya termasuk orang yang
mudah mendapatkan asisten, juga kemudian, mantan-mantan asisten sering bersedia
membantu atau malah mengajarkan asisten yang baru, sehingga hidup saya sangat
nyaman.
Asisten saya yang pertama memang kurang loyal, namun
partnernya, orang yang dia bawa, sangat loyal.
Bahkan setiap saya butuhkan, pasti datang, hingga akhirnya dia sakit dan
tidak sanggup lagi untuk datang ke Jakarta.
Padahal, asisten ini sangat pandai memasak dan kerjanya sangat efisien,
sehingga bisa menjadi role model untuk para asisten lainnya. Kekurangannya cuma satu, dia buta huruf. Namun, dia tidak pantang menyerah, setiap
melihat acara masak memasak di televisi, dia akan hafalkan atau meminta asisten
yang lain untuk mencatat. Dia memang
senang menguji coba maskan dan memang biasanya sukses.
Saya juga senang mengajak asisten untuk pergi, terutama naik
pesawat terbang. Karena saya yakin,
belum tentu mereka akan mendapatkan kesempatan naik pesawat terbang. Walaupun tidak semuanya pernah merasakan, namun
mayoritas asisten saya pernah saya ajak
ke luar kota. Dulu yang paling sering
adalah pengasuh anak saya yang pertama.
Karena saya selalu membawa anak saya dalam perjalanan dinas, maka si
mbak juga ikut.
Salah satu pengasuh malah punya pengalaman unik. Dia sangat takut naik pesawat terbang, karena
naik mobil atau bis saja sudah mabuk.
Namun berkat bujuk rayu ibu saya, dia bersedia ikut terbang. Sungguh ajaib, di pesawat terbang dia tidak
mabuk sama sekali. Namun, begitu kami
melakukan perjalanan darat di kota tujuan, dia akan mulai mabuk lagi. Begitu yang selalu terjadi setiap mengajak
dia.
Pengalaman berkesan lainnya adalah ketika saya mengajak
kedua asisten ke Yogyakarta. Saya dan
anak saya naik pesawat, mereka naik kereta api.
Kami menyewa mobil untuk mengunjungi candi Borobudur dan Prambanan,
serta obyek wisata lainnya. Saya juga
membebaskan mereka untuk membawa anak saya berjalan-jalan keliling kota, selama
saya rapat. Betapa senangnya kami semua,
karena ini merupakan pengalaman pertama bagi para asisten. Namun betapa
terkejutnya ketika kami sampai di rumah, ternyata baru saja terjadi
perampokan. Barang-barang elektronik
kami dirampok. Suami yang berada di
Jakarta tidak tega menceritakan kepada kami yang sedang bersenang-senang di
Yogya.
Pengalaman lainnya bagi para asisten adalah kesempatan
menginap di hotel-hotel mewah, karena menemani anak saya, sementara ibunya
rapat. Jadi, karena saya sering
bepergian sendirian, maka jatah kamar hotel bisa saya manfaatkan untuk membawa
anak dan pengasuhnya. Saya cukup membiayai ongkos transportasinya saja,
walaupun itu juga cukup menguras uang.
Pengalaman lain yang cukup berkesan adalah ketika mendadak
asisten minta pulang, saya tidak punya pilihan lain untuk mencari di yayasan. Beberapa kali mengambil di yayasan,
pengalaman saya cukup baik, saya mendapatkan asisten yang baik. Namun kali ini sungguh berbeda, dia
batuk-batuk terus dan cepat lelah, padahal baru 1 hari bekerja. Secara tidak sengaja, saya mendengar
percakapannya dengan pak sopir, ternyata dia mengidap kanker paru-paru. Tanpa ragu, saya segera kembalikan dia ke yayasan
walaupun uang saya hangus. Benar saja,
saya dengar kabar, malamnya sang asisten jatuh sakit sehingga harus pulang ke
kampung.
Setiap ada asisten baru, salah satu mantan asisten saya akan
datang untuk memberikan pelatihan. Jadi,
saya tidak perlu repot untuk memberi tahu apa saja tugas asisten di rumah. Namun, ada satu saat ketika para trainer itu
tidak ada satu pun yang bisa datang.
Pada saat itulah saya baru menyadari, betapa tergantungnya saya pada
para mantan asisten saya. Saya benar-benar
kelabakan. Untungnya, kejadian itu hanya
1 kali dalam hidup saya, itu pun hanya berlangsung 1-2 hari, karena salah
seorang trainer datang untuk memberikan pelatihan.
Satu pesan ibu yang tidak pernah saya lupakan adalah untuk
memperlakukan para asisten dengan baik, karena saya adalah ibu bekerja. Anak-anak saya percayakan kepada mereka,
sehingga mereka harus sayang pada anak-anak.
Untuk itu, saya memang agak memanjakan para asisten saya. Bahkan salah seorang asisten saya mempunyai
gadget yang lebih canggih, dan tentunya lebih mahal dari saya.
Namun kembali, semua itu berpulang kepada keberuntungan saya
sebagai ibu bekerja yang selalu mendapatkan asisten yang dapat saya andalkan. Terima kasih para asisten, kalian sangat
berjasa, tanpa kalian, saya tidak bisa bekerja dengan tenang.
Untuk seorang teman
yang dari Lebaran sampai hari ini belum mendapatkan asisten namun berkata: “saya
ikhlas, mungkin memang Tuhan mengatur bahwa saya harus mengurus anak saya
sendiri.”
How nice…. Tetap semangat
ya mbak
Komentar
Posting Komentar