Sibling

Aku mempunyai kakak perempuan dan adik perempuan, ya aku adalah anak tengah.  Sejak kelahiran adik, aku merasa nobody loves me.  Kakak menjadi kebanggaaan ayah, sementara adik menjadi kesayangan ibu.  Jarak usia kami berdekatan, sehingga kami selalu bersekolah yang sama.  Sebagai anak tengah, aku merasa tersaingi dengan si sulung, maupun si bungsu. 

Namun kemudian, kami mempunyai adik laki-laki, jadilah kami berdua, aku dan adik perempuan yang merasa senasib, nobody loves me.

Namun semakin besar, aku tidak terlalu dekat dengan adik perempuanku, karena dia sangat tertutup.  Aku lebih dekat kepada kakak perempuanku. Selain itu, adikku bersekolah di luar kota dan kemudian ke luar negeri, sehingga kami jarang bertemu.

Adikku adalah pribadi yang unik.  Adik orang yang pengalah, namun pada akhirnya kami baru sadar, bahwa dia yang selalu beruntung.  Sebagai contoh, ketika kami mendapat jatah sebidang tanah untuk kami belajar bercocok tanam, aku dan kakak berebut agar mendapatkan tanah di pinggir.  Adik mendapat tanah di tengah.  Aku dan kakak menanam mawar dan bunga-bunga yang indah lainnya, sementara adik malah menanam cabai dan kacang panjang.  Walhasil, tanaman kacang panjang adik menginvasi kebun kami, mengalahkan bunga-bunga kami.  Kami tidak bisa marah, karena kebun adik memang produktif, menghasilkan cabai dan kacang panjang yang hasilnya dimasak untuk kami makan.  Benar-benar kami tidak habis pikir….

Menurutku, adik memang aneh, karena selalu mau saja kami bully dan mau mengambil alih tanggung jawab.  Adik lah yang ditugaskan mengatur keuangan keluarga ketika ibu mendapat tugas sekolah selama 3 bulan di luar kota.  Adik kelihatan enjoy saja menggantikan tugas ibu untuk mengatur menu, uang belanja dan tugas-tugas lainnya.  Ayah pun kelihatan puas dengan hasil kerjanya.  Belakangan kami baru tahu, adik menikmati tugas sebagai “pengatur keuangan” keluarga, karena adik ternyata bisa mengalokasikan uang untuk membeli makanan kesukaannya, sementara kami dan ayah pasrah saja karena sudah meminta adik yang mengatur menu makanan.  Adik pun kelihatan punya barang lebih banyak, karena Ayah sering memberikan uang lebih sebagai imbalan atas tugas tambahan yang diemban oleh adik.

Adik juga termasuk orang yang hemat, malah cenderung pelit, hehehe.  Adik jarang membeli pakaian atau tas dan sepatu.  Karena ukuran kami bertiga hampir sama, adik lebih senang meminjam pakaian, tas atau sepatu kami, kakak-kakaknya.  Adik juga senang menerima lungsuran barang-barang kami.  Adik juga lebih suka membeli emas batangan (LM) daripada perhiasan.  Yang pasti, tabungan adik lebih banyak dibandingkan kami, kedua kakaknya.

Adik juga sering menjadi pelampiasanku apabila aku tidak sependapat dengan orang tua kami.  Biasanya aku menelpon adik dan menyuruhnya menyampaikan uneg-unegku kepada ibu atau ayah.  Namun yang belakangan aku ketahui, tidak semua hal adik sampaikan, kalau menurut adik hal itu akan menyakiti orang tua kami, adik hanya menyimpannya.

Pada saat kuliah, adik juga berusaha menyelesaikan kuliahnya lebih cepat dengan alasan untuk menghemat uang Ayah dan agar cepat bekerja sehingga bisa mengurangi beban Ayah.  Kami berdua sempat memusuhinya karena menganggap adik tidak tenggang rasa kepadaku, yang kebetulan saat itu belum lulus.  Aku merasa, adik ingin dipuji karena bisa mendahuluiku lulus sarjana.  Ya, kami berdua memang sering dipuji oleh orang sekitar kami, sementara adik jarang dipuji.  Jadi kami pikir, adik haus pujian.  Namun akhirnya kami sadar, adik bukan tipe orang seperti itu.

Setelah dewasa, cara adik menghadapi hidupnya juga aku nilai berbeda dengan kami.  Adik mengalami kegagalan pernikahan, namun dia tetap santai saja.  Kami berdua sangat khawatir, tapi adik menyikapinya dengan tenang.  Begitu pula ketika ayah meninggal, kami sibuk di samping jenazah, sementara adik sibuk wara wiri, ternyata mengurus pemakaman dan yang lainnya, bahkan saking sibuknya, adik terlambat tiba di pemakaman, sehingga baru datang ketika jenazah sudah dikubur.  Sepeninggal ayah, ibu dan kakak sulung malah memilih adik untuk meneruskan usaha ayah.  Waktu itu aku agak kecewa, kenapa adik yang diminta, bukan aku dan suamiku.  Namun kembali, adik menunjukkan betapa dirinya memang sangat bisa diandalkan.  Adik berhasil mencapai tingkat produksi maksimum.  Aku memang tidak pernah memujinya, namun dalam hati aku kagum padanya.

Ketika kemudian kami sekeluarga dihadapkan pada permasalahan dengan adik-adik ayah, paman dan bibi kami, adik yang kami minta jadi juru bicaranya.  Adik dengan tenang membuat materi presentasi dan mempresentasikannya di hadapan keluarga besar ayah.  Saat itu, aku tidak berani hadir, tapi adik dengan gagah berani menjelaskan duduk perkaranya, ditemani ibu dan kakak.  Juga ketika kami menghadapi masalah kepemilikan tanah Ayah, kembali, kami memutuskan agar adik yang menghadapinya, kami hanya bisa support.  Kembali, adik menunjukkan ketegarannya. 

Adik jarang mengeluh, apalagi curhat.  Sepertinya adik lebih nyaman curhat kepada teman-temannya dibandingkan kepada kami atau ibu.  Namun, pada akhirnya, kami mengetahui banyak hal dari ibu.  Adik ternyata banyak dirundung masalah.  Aku sendiri sempat merasa sebagai anak yang paling kurang beruntung dibandingkan kakak dan adik, sehingga sering menangis dan mengadu kepada ibu.  Tetapi mendengar cerita ibu, aku baru tersadar bahwa adikku butuh bantuan, namun dia tidak pernah minta tolong.

Saat ini, aku baru sadar, bahwa adikku butuh bantuanku.  Aku akan membantunya, walaupun dia tidak minta tolong.  Aku bantu sebisaku, terlepas dia mau terima atau tidak. Karena aku merasa, aku punya andil terhadap masalah yang menimpa adikku, walaupun mungkin adik tidak menyadarinya.  Sebagai kakak, aku tidak peduli kalau adik marah atas perlakuanku. Aku berusaha memperkenalkan adik ke orang-orang yang aku rasa bisa membantu.  Tapi, seperti biasa, adik menceritakan masalahnya dengan datar, tiada kepanikan di sana,  sementara aku selalu waswas.  Aku juga berusaha melalui doa, karena itu yang saat ini aku mampu berikan. Aku mendatangi rumahnya dan mengadakan pengajian, sementara adikku tidak ada di rumah dan malah dengan santai pergi berenang.  Oh adikku, tahukah kamu betapa khawatirnya aku?  Tahukah kau bahwa aku menangis selama beberapa hari terakhir ini, begitu mendengar cerita ibu? 

Adikku, aku tahu saat ini kamu sedang mengalami masalah yang berat, ayo berbagi dengan kakakmu ini.  Biar bagaimana, kita saudara sekandung, kita harus saling membantu.  Aku tidak bisa melihatmu diperlakukan seperti ini.  Aku melihat, ada kekuatan besar yang sedang mencoba mencelakaimu. Katakan padaku, apa yang bisa aku lakukan untukmu?


Dear my little sister, let me help you. After all you have done for our family, you deserve happiness.  I will do everything to help you, and I always pray for you….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gembolan

Frankly Speaking

On your mark, get set...