Letting go


Sepanjang hidup, pasti kita pernah harus merelakan seseorang pergi meninggalkan kita, atau barang milik kita diambil.  Kita harus ikhlas…..

Ya, dalam perjalanan hidupku, aku pernah beberapa kali harus merelakan kepergian orang.  Mulai dari teman-teman yang menjauh, ditinggal pacar, bahkan suami.  Tentunya aku harus introspeksi, kenapa itu bisa terjadi.  Kalau teman-teman, ada yang karena memang sudah punya kesibukan lain atau pindah kota, tapi juga ada yang dikarenakan posisiku saat ini yang “nobody”, jadi wajar mereka tidak merasa terlalu penting untuk menjadi temanku atau sekedar menyapa, malahan kalau bisa jauh-jauh dariku karena takut kena masalah.  Kalau pacar, katanya karena aku lebay, ya sudahlah.  Kalau suami, wah, analisanya bisa panjang, hehehe. Tapi semuanya tetap bisa membuat aku move on.

Aku juga pernah kehilangan jabatan, bahkan pekerjaan sekaligus.  Waktu kehilangan jabatan di level middle management, tidak terlalu berpengaruh, hanya post power syndrome sedikit lah, karena biasa punya anak buah, kemudian jadi harus mengerjakan semuanya sendiri.  Yang terhebat adalah ketika kehilangan jabatan yang sudah tinggi sekaligus  kehilangan pekerjaan, jadi lah aku “pengacara” penggangguran banyak acara.  Aku sengaja mencari kesibukan, tetap mengikuti ritme bekerja, yaitu berangkat pagi-pagi, pulang sore, supaya tidak kehilangan semangat hidup.

Yang paling sedih sebenarnya kehilangan barang-barang yang kita miliki dari hasil memeras keringat.  Aku ingat, rumahku pernah kemalingan dan semua barang elektronik milikku hilang.  Herannya, aku tidak menangis, hanya bengong saja.  Begitu juga dengan kehilangan barang-barang yang lainnya, seperti dompet, HP, dll, aku tidak pernah menangis.

Namun, ketika mendengar dari ibu bahwa tanah kebun milik almarhum ayah ternyata harus dilepas karena ibu kalah di pengadilan, aku tak bisa menahan tangis.  Walaupun awalnya ibu memberitahuku lewat bbm, sepertinya sengaja memberitahu dengan nada sambil lalu, aku tetap terpengaruh, aku tetap merasa sedih sekali.  Bahkan ketika aku menelpon ibu, tiada tangisan di suara ibu, malah aku yang menangis.  Ibu hanya bilang, ikhlaskan, ikhlaskan…..

Aku merenung sendiri, betapa tidak, aku sangat kecewa dengan kekalahan ini.  Aku jadi ingat apa yang telah aku alami demi mempertahankan tanah kebun milik ayah.  Aku bahkan pernah menjalani proses hukum hanya demi mempertahankan tanah ayah.  Aku mengalami hal-hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.  Memang aku menang di kasus itu, namun ketika kami menjalani putusan, yaitu memperkarakan kepemilikan tanah secara perdata, ternyata hakim memutuskan lain.  Aku tidak bisa percaya.  Aku sempat berpikir, sia-sia semua pengorbananku selama 4 tahun menjalani semua proses ini.  Sekarang setelah 2 tahun kemenangan itu, ternyata keputusan pengadilan, pengadilan yang sama namun berbeda hakim, hasilnya berbeda.

Namun satu hal yang juga menjadi pemikiranku adalah Taj Mahal yang ku bangun untuk ayah.  Untungnya, itu di bangun di atas tanah yang kubeli dari penduduk, letaknya di perkampungan, bukan di dalam tanah kebun yang menjadi sengketa.  Artinya, Taj Mahal aman, tidak akan digusur oleh pemilik tanah yang baru, sehingga doa buat ayah akan tetap dapat mengalir.  Namun terjadi pertentangan batinku, andaikan aku membangunnya di dalam tanah kebun, akankan tanah kebun ini lepas dari kami?  Apakah ini memang petunjuk Tuhan yang tidak kupahami?  Bahwa aku digerakkan untuk membangunnya di luar tanah kebun, sebagai petunjuk dari Tuhan bahwa kami tidak akan dapat memiliki tanah kebun ini.  Atau, aku justru salah, karena tidak membangunnya di tanah kebun?  Ah, aku bingung sekali, namun aku yakin sekali, hidup sudah diatur, Tuhan yang menggerakkanku, Tuhan tidak pernah salah.  Hanya kita lah sebagai manusia yang kadang-kadang tidak memahami petunjukNya.

Aku menghela nafas dan memantapkan hati, tidak ada yang sia-sia.  Tuhan pasti mengajarkan sesuatu bagiku.  Aku memang ditakdirkan untuk menjalani semua proses hukum itu demi menghadapi masalah yang lebih besar lagi.  Proses 4 tahun yang lalu itu merupakan “training ground” buatku.  Mungkin kalau aku tidak pernah dilatih seperti itu, aku tidak akan setegar sekarang menghadapi masalahku sendiri.

Maafkan aku ayah, aku tidak kuasa menjaga warisanmu, amanahmu untuk tetap mengurusi tanah kebunmu.  Mudah-mudahan ayahpun iklhas, let it go.  Hanya Taj Mahal inilah yang dapat aku persembahkan buat ayah, (http://baby-godlovesme.blogspot.com/2014/09/taj-mahal-di-ujung-jalan.html) mudah-mudahan ayah berkenan.  Maaf ayah …..

To my parent, please forgive me…..


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gembolan

Frankly Speaking

On your mark, get set...