Friends

A friend in need is a friend indeed.

Saya memang tergolong orang yang senang berteman banyak.  Awalnya, ketika masih kelas 1 SD, saya termasuk anak introvert, namun begitu psikolog sekolah memanggil orang tua saya dan meminta mereka untuk merubah pola asuhnya, jadilah saya seperti sekarang, extrovert.  Malah kadang saya lebay, terlalu bersemangat bergaul, sampai orang tua saya menjuluki saya Ali Topan anak jalanan, karena saya sering kelayapan dan menginap di rumah teman tanpa memberi tahu orang tua, maklum, saat itu di rumah kami belum ada pesawat telpon.

Saya selalu senang punya gank.  Semenjak dari SD, saya punya gank yang beranggotakan 10 orang, 4 laki-laki dan 6 perempuan.  Dari total teman sekelas sebanyak 26 orang, kami berkelompok sebanyak 10 orang, mungkin tidak make sense, kenapa harus 10 orang, tapi itulah saya, senang berkelompok.  Begitu masuk SMP, gank saya yang terakhir adalah 7 orang perempuan.  Gank SMP ini cukup bertahan, apalagi setelah socmed menjamur, kami jadi sering bertemu. Di SMA, saya membuat gank 6 orang perempuan, namanya diambil dari merk parfum.  Gank ini juga cukup bertahan, apalagi ketika masa kuliah, kami sering saling berkunjung, karena saya di Bandung dan salah seorang teman ada di Surabaya.  Setelah masing-masing berumah tangga pun, kami masih tetap berteman.  Banyak hal unik dari genk saya ini. Pergaulan saya di genk SMP dan SMA memang berbeda, walaupun ada 2 orang yang menjadi anggota di keduanya.

Ketika kuliah, saya tidak punya genk lagi, karena memang kehidupan mahasiswa agak berbeda.  Saya sebagai mahasiswa pendatang di Bandung, tentunya lebih berteman dengan teman-teman dari Jakarta, karena kami sering bertemu di kereta api yang membawa kami dari Jakarta.  Atau kami sering pulang dan pergi Jakarta Bandung bersama-sama, sehingga pertemanan kami lebih akrab.  Namun, di antara teman-teman perempuan di satu jurusan, tentunya ada yang lebih dekat dibandingkan yang lainnya.  Namun, pertemanan kami tidak sekental pada saat SMP atau SMA, terutama sejak perceraian saya dengan suami yang merupakan teman sekelas juga, sehingga ada kekikukan di antara teman-teman apabila harus bertemu dengan kami berdua.  Saya pun memilih untuk jarang berkumpul dengan teman-teman kuliah, demi memberikan kesempatan kepada mantan suami.  Namun dikemudian hari saya terharu, ternyata  teman-teman kuliah ikut mendukung saya ketika saya menghadapi permasalahan yang cukup berat.

Saya cukup loyal dalam berteman.  Sampai sekarang ada sahabat saya dari TK yang masih tetap bersahabat sampai sekarang.  Walaupun sering berselisih paham, namun kami akan mencari satu sama lainnya apabila sudah lama tidak ada kabar.  Teman TK ini dulu memang selalu menjadi pembela saya, kalau ada yang mengganggu saya, dia pasti akan memarahi orang itu.  Kalau saya tidak suka dengan salah seorang teman, maka teman saya ini yang bertugas mem”bully” teman yang tidak saya sukai.

Teman lainnya adalah ketika saya bekerja.  Di tempat bekerja yang pertama, saya cukup akrab dengan sekretaris di bagian produksi, karena dialah satu-satunya perempuan di bagian produksi di samping saya.  Karena hanya berdua, kami jadi akrab,  Namun, yang terus berteman dengan saya sampai sekarang adalah sekretaris Direktur Utama, yang sebenarnya malah jarang berinteraksi pada saat bekerja. Kami sering berbisnis bersama, bahkan uniknya, setiap teman saya ini mengikuti program Multi Level Marketing, saya akan menjadi down linenya.  Begitu pula sebaliknya.  Kami mengikuti banyak MLM, bahkan money games.  Kami juga berbisnis bersama, mulai dari berjualan asesoris, parsel kosmetik, t-shirt, sampai membuka toko dan kursus anak-anak.  Bahkan, kami berdua tidak sungkan membagikan brosur toko kami di sebuah mal. Kami memandang uang tidak dapat merusak persahabatan, dengan demikian, kehilangan uang karena bisnis, apalagi karena mengikuti money games, tidak membuat kami bermusuhan, kami hanya berpikir, inilah risiko bisnis.

Di tempat bekerja berikutnya saya juga punya teman dekat, seorang perempuan yang lebih tua dari saya dengan kepribadian yang sangat unik.  Dia tidak punya banyak teman, karena memang terlihat sangat memilih dalam berteman.  Semua tas nya ber merk, walaupun berangkat dan pulang bekerja menggunakan bis, sungguh berani, naik bis umum namun memakai tas bermerk.  Di bank ini juga saya sempat agak sedikit ngegank dengan 3 orang teman yang seumuran, 2 perempuan dan 1 laki-laki.  Ketiga teman ini tadinya cukup baik, hingga kasus yang menimpa saya, akhirnya hanya 1 yang bertahan tetap berteman, yang lainnya menjauh.

Di tempat kerja berikutnya, saya juga menemukan banyak teman dekat, apalagi bawahan yang sangat loyal pada saya, sehingga sering saya sebut sebagai “inner circle”.  Ada di antaranya yang benar-benar tulus, tanpa memandang jabatan saya, bahkan berani mengkritik saya, di tengah semua pujian.  Dan saya benar-benar bersyukur karena telah dia ingatkan hal-hal yang mungkin tadinya tidak terpikirkan oleh saya.  Walaupun biasanya diawali dengan sakit hatinya saya atas masukan yang diberikan, namun, at the end, apa yang dia bilang biasanya benar.

Saya juga terus menerus menambah teman, apalagi di saat saya berpindah dunia, dari dunia kantor ke dunia yang lebih bebas, saya menemukan teman-teman baru yang baik.  Salah satunya adalah teman yang diperkenalkan oleh pejabat Kementerian BUMN.  Saya tidak paham latar belakangnya, namun karena dia sering menegur via bbm, akhirnya kami menjadi akrab dan bahkan berbisnis bersama.
Juga saya menambah teman karena mengikuti program MLM yang membuka pertemanan saya ke lingkungan yang baru.  Dimana teman terakhir yang baru saya kenal dan akhirnya cukup akrab adalah seorang penulis, yang akhirnya menginspirasi saya untuk sering menulis.  Walaupun usia kami berbeda, namun ternyata kami bisa berteman cukup akrab.

Teman-teman saya memang unik, berbeda latar belakang, usia, agama dan beberapa mungkin berbeda dengan orang kebanyakan, namun mereka tetap teman saya dan saya sangat menghargai kejujuran mereka terhadap saya.  Dan saya tidak pernah berubah memandang mereka, karena saya pun menyadari bahwa saya bukan manusia sempurna.

Saya juga sering berbisnis dengan teman, namun tanggapannya bisa berbeda-beda.  Ada yang menghilang ketika binis merugi, mungkin karena merasa tidak enak, namun ada yang bisa dengan ringan menganggap itu hanyalah kerugian, risiko berbisnis.  Saya sendiri termasuk orang yang easy going dalam menyikapi ini.  Saya pernah mengalami kerugian dalam money games, dalam bisnis factory outlet di Bali, dalam bisnis penjualan t-shirt ke Maluku dan Papua, namun semua ini tidak membuat saya kapok untuk berbisnis dengan teman-teman.

Ketika saya ditimpa musibah, banyak teman yang menjauh, namun masih banyak pula yang tetap setia.   Bahkan mereka rela datang hanya untuk memberikan dukungan pada saya.  Dan yang paling mengharukan adalah, ketika Lebaran, setelah setahun saya dipecat, begitu banyak kiriman datang ke rumah, bahkan melebihi saat-saat saya masih menjabat.  Saya jadi merasa, I’m not alone, teman-teman saya masih banyak dan pada saat itulah saya jadi sangat memahami arti teman sejati: a friend in need is a friend indeed.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gembolan

Frankly Speaking

On your mark, get set...