What do you have for lunch?
Setiap menjelang makan siang, biasanya saya dilanda
kebingungan, mau makan apa?
Baru-baru ini saya dikerjain oleh 2 orang teman saya. Di sebuah mal yang sangat megah di Jakarta, saya diajak makan di kantin karyawan di basement. Untungnya, saya enjoy saja. Beberapa hari kemudian, mereka buka kartu, katanya, mereka ingin lihat wajah saya seperti apa diajak makan di tempat seperti itu. Saya jadi penasaran, apakah saya terlihat kikuk? Ternyata, saya lulus! Kata mereka, saya terlihat baik-baik saja.
Karena keisengan mereka inilah, kemudian saya jadi memikirkan kembali mengenai kebiasaan makan siang saya. Saya sendiri punya banyak pengalaman menarik seputar makan siang, karena saya sering makan di warung, sampai makan di restoran mewah.
Saya juga punya pengalaman makan siang yang sangat berkesan. Waktu itu kondisi keuangan saya sangat tidak menentu, karena baru saja kehilangan ayah dan malah diminta mengelola perusahaan ayah, sehingga uang saya banyak terpakai untuk perusahaan. Hari itu, uang di dompet saya hanya Rp.7.000,-, sehingga untuk makan siang saya terpaksa beli di warteg sebelah kantor dan ternyata uang saya hanya cukup untuk membeli makanannya, jadi tidak cukup lagi untuk memberikan tip bagi yang membelikan. Untungnya, saat itu saya titip beli makanan pada teman, bukan pada office boy, sehingga saya tidak perlu memberikan tip dan saya yakin bahwa teman tersebut sangat ikhlas melakukannya.
Pengalaman makan siang tentu berbeda-beda bagi setiap orang. Beberapa pengalaman menarik dari teman-teman juga menjadi perhatian saya.
Baru-baru ini saya dikerjain oleh 2 orang teman saya. Di sebuah mal yang sangat megah di Jakarta, saya diajak makan di kantin karyawan di basement. Untungnya, saya enjoy saja. Beberapa hari kemudian, mereka buka kartu, katanya, mereka ingin lihat wajah saya seperti apa diajak makan di tempat seperti itu. Saya jadi penasaran, apakah saya terlihat kikuk? Ternyata, saya lulus! Kata mereka, saya terlihat baik-baik saja.
Karena keisengan mereka inilah, kemudian saya jadi memikirkan kembali mengenai kebiasaan makan siang saya. Saya sendiri punya banyak pengalaman menarik seputar makan siang, karena saya sering makan di warung, sampai makan di restoran mewah.
Dulu, setiap hari pertama di perusahaan baru, saya bawa
bekal dari rumah, untuk jaga-jaga kalau
belum punya teman makan siang, atau kalau belum tau dimana letak kantin,
dll. Untungnya saya tidak terlalu sering
berpindah kerja, jadi kejadian bawa bekal hanya sedikit, bisa dihitung dengan
jari. Hari-hari selanjutnya, saya sudah
mandiri, bisa pesan “piring terbang” atau minta tolong office boy untuk
membelikan di warung.
Saya juga punya pengalaman makan siang yang sangat berkesan. Waktu itu kondisi keuangan saya sangat tidak menentu, karena baru saja kehilangan ayah dan malah diminta mengelola perusahaan ayah, sehingga uang saya banyak terpakai untuk perusahaan. Hari itu, uang di dompet saya hanya Rp.7.000,-, sehingga untuk makan siang saya terpaksa beli di warteg sebelah kantor dan ternyata uang saya hanya cukup untuk membeli makanannya, jadi tidak cukup lagi untuk memberikan tip bagi yang membelikan. Untungnya, saat itu saya titip beli makanan pada teman, bukan pada office boy, sehingga saya tidak perlu memberikan tip dan saya yakin bahwa teman tersebut sangat ikhlas melakukannya.
Pengalaman makan siang tentu berbeda-beda bagi setiap orang. Beberapa pengalaman menarik dari teman-teman juga menjadi perhatian saya.
Ada perusahaan yang menyediakan catering untuk makan siang
karyawannya, ada pula yang menyediakan kantin.
Untuk perusahaan yang karyawannya sedikit, dan lokasinya di pabrik,
biasanya disediakan catering. Catering
bisa dengan “piring terbang” atau rantang.
Kalau di perusahaan yang lebih besar, catering juga ada banyak pilihan
dan tidak perlu langganan. Ada catering
yang mendekati makan siang sudah keliling mencatat permintaan karyawan, jadi
karyawan bebas memilih hari ini mau makan dari catering yang mana.
Perusahaan yang menyediakan kantin juga banyak
variasinya. Ada yang menyediakan untuk
seluruh karyawan, ada yang untuk level tertentu. Nah, perusahaan yang menyediakan kantin untuk
level tertentu jadi menimbulkan kesan bangga, apabila kita sudah bisa ikut
makan di kantin, karena artinya level kita sudah cukup tinggi. Ada perusahaan yang menyediakan kupon untuk
ditukar dengan pilihan makanan di kantin.
Lucunya, kupon nya bisa diperjual belikan, sehingga sebenarnya tujuan
perusahaan untuk memberikan makan siang kepada karyawannya menjadi tidak
tercapai.
Seorang teman bercerita, walaupun di perusahaannya ada
kantin karyawan, namun dia jarang sekali makan di sana, karena kebetulan teman
ini ditempatkan di bagian SDM, jadi setiap makan di kantin, ada saja karyawan
yang mendatanginya dan berkeluh kesah, sehingga teman ini tidak nyaman makan
siang di kantin, akhirnya lebih memilih memesan makanan untuk di bawa ke
ruangannya.
Teman lainnya menceritakan ritual makan siangnya yang sangat
mengesankan. Teman ini kebetulan
jabatannya cukup tinggi sehingga peralatan makanannya disediakan di
perusahaan. Yang membuat dia heran,
ternyata harga peralatan makannya mahal, sehingga office boy di kantor nya
sangat hati-hati dalam menyiapkan peralatan makannya. Jadi, sudah ada standard operating procedure
(SOP) untuk menyiapkan makanannya dan sudah ada standar perlengkapannya. Sungguh ironis, kata sang teman, karena teman
ini sering memesan makanan dari warung yang harganya jauh di bawah harga
peralatan makan yang digunakannya.
Di samping itu, ternyata dia juga tidak boleh sembarangan
memakai piring yang lain, atau meminjamkan piring ke temannya. Dia senang memberikan makanan yang ada di
ruangannya ke teman yang berada di lantai lain, namun office boy pasti akan
dengan sigap akan mengganti piringnya dengan piring biasa. Teman saya merasa heran, kenapa harus diganti?
Di kemudian hari, teman ini akhirnya mengetahui bahwa
perlengkapan makan di lantai tempat dia berkantor adalah peralatan yang mahal
dan khusus dibeli untuk digunakan di lantai tersebut. Dan keberadaan dan kelengkapan peralatan
makan itu menjadi tanggung jawab sang office boy, kerennya adalah Key
Performace Indicator (KPI) nya sang office boy di lantai tersebut. Sejak itu, sang teman jadi punya empati
kepada sang office boy dan menjadi sangat mematuhi peraturan, bahwa peralatan
makan hanya boleh untuk lantai tersebut.
Dia berkata, kasian si office boy kalau sampai KPI nya tidak tercapai
hanya gara-gara saya ingin memberikan makanan ke teman saya. Memang kadang-kadang protokoler sangat
menjengkelkan, namun, apa boleh buat, kita harus menyadari bahwa ada
pihak-pihak yang memang tugasnya seperti itu dan harus kita hargai.
Kembali kepada keisengan teman-teman saya tadi, jauh di
lubuk hati saya, saya berterima kasih kepada mereka berdua, karena saya diingatkan
untuk kembali ke bumi. Karena, sejak
meninggalkan pekerjaan, saya malah lebih sering makan di restoran di mal, padahal
penghasilan saya sudah jauh berkurang.
Artinya, kejadian ini telah menginspirasi saya untuk kembali makan di
tempat-tempat yang murah meriah. Terima
kasih teman-teman saya yang iseng….
Special thanks to you
girls…..
Komentar
Posting Komentar