I'm only human

Saya cuma perempuan biasa, tapi banyak orang bilang saya berbeda.  Masalah yang saya hadapi memang lebih dibandingkan rata-rata orang, tapi tetap saja, saya tidak sehebat para relawan ke Gaza, atau seheboh selebritis.  Pernah salah seorang teman saya bertanya, apakah saya pernah mengalami depresi dalam menghadapi masalah-masalah yang menimpa saya.  Saya jadi mengingat-ingat kejadian-kejadian yang pernah membuat saya depresi, yang membuat saya ingin mati saja rasanya….

Kejadian pertama adalah ketika suami saya meninggalkan saya di apartemen kami di Amerika.  Saya benar-benar tidak bisa tidur, sehingga minta obat tidur ke teman Taiwan saya.  Nah, di saat saya mengonsumsi obat tidur itu, terlintaslah pikiran bodoh itu.   Saya ingin mati….

Saya ingin bunuh diri tapi tidak mau mati, saya ingin makan obat tidur itu sebanyak mungkin, tapi ingin ada yang menyelamatkan saya.  Saya hanya ingin, suami saya menyesal meninggalkan saya.

Namun untungnya, hal ini tidak pernah terjadi.  Saya tidak pernah senekat itu, karena suatu hari ketika saya bercermin sambil menangis tiba-tiba saya tersadar dan berkata pada diri sendiri: ini hidupmu, jangan mau hidupmu di atur oleh orang lain.  No more tears….

Dan sejak itu, tiada air mata lagi untuk perceraian saya.

Kejadian kedua ketika ditetapkan sebagai terdakwa pada kasus tanah orang tua saya.  Menghadapi sidang yang sepertinya tiada berujung, saya mulai terpikir lagi untuk mati.  Karena mengutip kata-kata sang Kapolres, bahwa  kasus pidana tidak diwariskan. Hal ini membuat saya punya ide untuk mengakhiri hidup, sehingga kasus pidana ini akan terhenti di saya dan everything will be okay…

Tapi di kejadian kedua ini, ide itu hanya sampai di otak, tidak pernah saya memikirkan bagaimana merealisasikannya.

Kejadian ketiga adalah ketika suami saya bertingkah di kantor saya di saat saya sedang di puncak karir, ketika saya menjadi Direktur di perusahaan tempat saya bekerja selama lebih dari 15 tahun.  Waktu itu saya begitu malu karena suami suka marah-marah di kantor.

Ketika saya menghadiri pertemuan di salah satu gedung tinggi di Sudirman, saya sedang ke toilet di lantai 22, jendela toilet terbuka.  Jendelanya sangat besar, seukuran tubuh saya.  Saya melongok ke bawah, anginnya kencang sekali.  Ingin rasanya naik ke jendela dan terjun ke bawah.  Namun hati saya kecut melihat ke bawah, dan di pelupuk mata terlihat wajah-wajah anak-anak.  Akhirnya saya mengurungkan diri.  Seorang sahabat saya kontak dan mengingatkan saya, please jangan bertindak bodoh, tetap hidup demi anak-anakmu.

Kejadian terakhir ketika menghadapi permasalahan hukum.  Sama seperti kasus tanah, saya ingin sekali mati, karena kasus pidana tidak diwariskan.  Namun kali ini, saya hanya mengucap dalam hati, alangkah enaknya apabila saya mati dalam tidur.  Tidak merasa sakit.  Namun kembali, hal ini hanya dalam hati saja.  Beberapa kali sebelum tidur, saya cuma berharap, tidak pernah membuka mata lagi.....

Speechless…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gembolan

Frankly Speaking

On your mark, get set...