Taj Mahal di ujung jalan
Kalau Taj Mahal di India adalah bukti cinta suami ke istrinya, maka Taj Mahal di pelosok desa, di ujung jalan kampung ini adalah bukti kecintaan saya kepada Ayah…..
Walaupun saya sering merasa ayah tidak terlalu sayang sama
saya, karena saya tidak sepintar dan secantik kakak-kakak saya, tapi beberapa
momen indah dalam kehidupan saya menunjukkan bahwa Ayah sebenarnya sayang pada
saya, tidak membeda-bedakan saya dengan kakak-kakak saya.
Ketika Ayah bilang ingin sekali bangun masjid di bawah pohon mangga di kebun kami di pelosok desa sana, saya tidak terlalu peduli. Waktu Ayah bilang ingin dimakamkan di bawah pohon mangga di tempat itu juga, baru kami bereaksi. Masalahnya, kalau Ayah dimakamkan di situ, susah sekali untuk berziarah, karena waktu perjalanan dari rumah kami ke kebun bisa 3 jam lebih, belum ditambah macet. Jadi permintaan yang satu ini tidak bisa kami penuhi.
Sepeninggalan Ayah, tidak pernah terbersit di hati saya
untuk mewujudkan pembangunan masjid itu, karena untuk menjalankan peternakan
ayam peninggalan Ayah saja, saya sudah pusing tujuh keliling. Begitu banyak hal yang harus dibenahi. Namun keinginan membangun masjid akhirnya
mulai muncul di hati ketika menghadapi permasalahan hukum pidana terkait tanah
kebun. Saya bernazar, kalau kasus ini
selesai dan saya bebas dari hukuman, saya akan wujudkan keinginan Ayah untuk
membangun masjid.
Ketika kasus selesai, permasalahan lain timbul, yaitu status
tanah di kebun masih harus diperjuangkan lagi.
Saya sudah memanggil arsitek untuk menggambar masjid, bahkan arsitek
sudah menghitungkan anggaran belanjanya.
Terakhir, saya sudah dikenalkan pula dengan calon kontraktornya. Tapi, apa daya, terlalu banyak pertimbangan
untuk membangun masjid. Selain status
tanah, saya mendapatkan masukan bahwa apabila saya membangun masjid di tempat
yang Ayah inginkan, maka masjid sulit untuk dimanfaatkan oleh warga sekitar,
karena terletak jauh dari perkampungan.
Akhirnya ide itu tiba, tepat setelah satu tahun selesainya
kasus. Saya tiba-tiba punya ide untuk
mencari sebidang tanah milik penduduk, sehingga statusnya jelas hak milik, dan
letaknya dekat perkampungan terdekat dengan kebun. Alhamdulillah, seorang warga bersedia menjual
tanahnya, dan ketika saya mengunjunginya, Masya Allah, lokasi tanah itu
merupakan garis lurus dari lokasi yang Ayah inginkan, dan apabila Ayah masih
hidup dan duduk di teras rumah kebun kami, masjid itu akan terlihat dengan
jelas, karena letaknya di lembah, sementara rumah Ayah di atas bukit.
Perjuangan membangun masjid tidak mudah. Mulai dari pembengkakan biaya, sampai 4 kali
lipat lebih dari anggaran, sampai kondisi lapangan dan cuaca yang tidak
mendukung, sehingga pembangunan berjalan lambat. Dan, malapetaka itu keburu datang. Saya dipecat.
Pupus lah harapan saya, bagaimana mungkin bisa membiayai
pembangunan. Namun Alhamdulillah, saya
masih diberi kecukupan, akhirnya pembangunan masjid selesai setelah melalui 11
bulan dan dengan sangat terpaksa saya memutuskan kontrak dengan kontraktor awal
dan mencari kontraktor baru.
Hal lain yang sempat mengganggu pikiran saya adalah
keinginan masyarakat setempat untuk tambahan-tambahan bangunan yang pada
akhirnya merusak desain awal masjid yang tadinya sangat saya dambakan bergaya
minimalis.
Namun, di dalam pertentangan batin untuk mengabulkan
permintaan masyarakat saya akhirnya berpikir, saya harus memprioritaskan fungsi
dari masjid ini, sehingga pahala dan doanya mengalir untuk Ayah, dibandingkan
dengan saya mempertahankan kecantikan fisik masjid yang tidak berkorelasi dengan
manfaatnya.
Sudahlah, apa sih yang saya cari? Saya putuskan, silakan
masyarakat minta ini itu, selama saya ada dananya, akan saya penuhi.
At the end of the day, saya menyimpulkan, ternyata untuk
berbuat baik pun banyak ujiannya…..
Dan Taj Mahal itu pun berdiri tegak di ujung jalan dari
kebun ke kampung sebagai cara saya untuk menuangkan curahan hati saya pada
Ayah.
Dulu waktu masih aktif di FB dan Twitter, saya beberapa kali
menulis status tentang Ayah di saat-saat galau, seperti:
“ tepat di hari ulang tahunnya, almarhum Ayah saya
mengajarkan saya bagaimana menjadi kuat…..”
Itu waktu saya tiba-tiba masuk padang masyar kecil, dimana
saya disadarkan oleh Tuhan bahwa semua manusia di mata Tuhan adalah sama. Kejadiannya sangat menyentuh saya, di
penghujung Ramadhan, saya ditempatkan di satu ruangan bersama-sama para preman
penuh tattoo, sementara saya masih memakai blazer kantor.
“Dad has passed away 5 years ago, but last year, he still
could teach me how to be strong; then I realized, Dad will take care of me
forever…..”
Itu status FB saya setahun kemudian.
“I know you are always right Dad, even you are not here
anymore….”
Itulah curcol saya begitu diputuskan tidak bersalah dalam
kasus tanah Ayah.
Setelah saya meninggalkan hingar binger socmed, saya tidak
bisa curcol lagi. Taj Mahal inilah
curcol saya sekarang, selamanya dan abadi.
Setiap galau, saya akan melihat foto masjid itu, berhubung
saya tidak bisa ke luar kota. Dan setiap
ingat masjid itu saya ingat, bahwa karena Ayah lah saya menjadi kuat, walaupun
saya sekarang “notorious”, tidak “famous” seperti kakak-kakak saya. Maafkan saya ya Yah…..
Proud to be your daughter, Dad!
Komentar
Posting Komentar